Jika anda berada di daerah Sulawesi Utara khususnya seputaran Kota Manado, Kota Bitung, Kota Tomohon dan Kabupaten Minahasa maka sejak tanggal 4 Desember sampai beberapa hari ke depan, dengan mudah akan dijumpai iring-iringan rombongan Santa Claus. Pemandangan yang berulang setiap tahun menjelang perayaan Natal yang memang banyak dirayakan oleh masyarakat di Kota/ Kabupaten tersebut di atas.
Hingar bingar pawai Santa Claus ini bagi sebagian orang tua merupakan sarana untuk memberikan hadiah natal bagi putra-putrinya plus "kesempatan" untuk "mendidik" anak-anak yang sulit mereka atasi dalam kesehariannya. Betapa tidak, Santa Claus yang datang lengkap dengan serombongan badut dan pit hitam yang membawa karung bersama sapu lidi, memberikan hadiah natal yang notabene berasal dari orang tua.
Tempat tinggal saya pun kemarin tidak luput dari kunjungan Santa Claus pada beberapa anak. Saya tidak menyertakan putri saya yang berumur 2,7 tahun karena tidak saya ijinkan. Hasilnya adalah sebagian besar anak-anak di kompleks perumahan baik yang ikut maupun yang tidak mendaftar menjadi histeris. Menangis dan berteriak-teriak, sebagian lari tunggang-langgang sehingga harus dikejar-kejar oleh orang tuanya.
Inilah sebenarnya yang dikehendaki oleh sebagian orang tua. Mereka kemudian mempunyai senjata untuk mengancam sang anak apabila mereka nakal dengan mengatakan akan memanggil Santa Claus dan pit hitam apabila mereka merengek-rengek minta sesuatu atau melakukan yang tidak dikendaki oleh orang tua.
Inikah model pendidikan anak yang layak untuk ditiru? Membohongi anak bahwa hadiah natal diberikan oleh Santa Claus supaya sang anak tidak nakal? Memberikan sesuatu kepada putra-putri kita adalah tanggungjawab orang tua tetapi tidaklah perlu disertai dengan "ancaman" apalagi menakut-nakuti mereka dengan menggunakan jasa pihak lain. Orang tua bertanggungjawab sepenuhnya terhadap anak-anak sebagai anugerah yang diberikan Tuhan kepada kita.
Kepada yang merayakan Natal marilah berpikir dan bertindak lebih bijaksana. Menyemarakkan suasana Natal adalah sesuatu yang wajar, namun hindarilah tindakan-tindakan yang justru membuat Natal itu sendiri kehilangan makna yang hakiki karena kebiasaan yang hanya meniru-niru budaya yang tidak jelas maknanya bagi perubahan sikap dan cara hidup orang beriman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H