Lihat ke Halaman Asli

Hamba Tuhan atau Hamba Uang

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Puncak pesta demokrasi pemilihan calon presiden dan wakil presiden mendekati klimaks. Tinggal dalam hitungan jam maka bangsa Indonesia akan segera mengetahui siapa yang bakal memimpin bangsa ini lima tahun kedepan. Setelah hiruk pikuk saling klaim kemenangan masing-masing calon, apakah berdasarkan hitung cepat quick count maupun perhitungan berdasarkan formulir C1 (real count), maka KPU lah yang pada akhirnya yang menjadi penentu.

Fenomena menarik dalam pilpres 2014 kali ini antara lain, hanya ada dua pasang calon yang bersaing ( biasanya lebih dari dua), maraknya kampanye hitam yang dilakukan dan terjadi pada dua pasang capres dan cawapres, adanya perbedaan hasil hitung cepat dari sejumhlah lembaga survei serta saling mengklaim kemenangan.

Dari sudut pandang sebagai umat Kristiani, fenomena menarik yang terjadi adalah keterlibatan oknum-oknum pemuka agama kristen baik di daerah maupun tingkat nasional. Dari yang mendukung secara sembunyi-sembunyi sampai yang terang-terangan memberikan dukungan. Sebagai warga gereja yang juga adalah warga negara maka dukungan ini adalah sesuatu yang wajar. Akan tetapi predikat yang melekat sebagai pemuka agama tidaklah pantas memberikan dukungan apalagi sampai memberikan surat edaran kepada umat untuk memilih calon presiden tertentu.

Sebagai pemimpin seharusnya memberikan kesejukan kepada umat, bukan sebaliknya menciptakan keresahan. Umat akan diperhadapkan dengan dilema antara mengikuti "perintah" gembala atau mengikuti nuraninya. Seorang hamba Tuhan seharusnya menempatkan diri sebagai gembala yang adil, tidak memihak serta mampu mempersatukan umat.

Pilpres kali ini telah menyebabkan ada segelintir oknum Hamba Tuhan yang ikut menceburkan diri di ranah politik. Memang tidak menjadi tim sukses secara langsung tetapi menyelenggarakan kegiatan ibadah yang sesungguhnya sudah ditunggangi dengan pesan-pesan politik sehingga tidak bedanya dengan kampanye. Apakah melalui khotbah maupun doa-doa yang dinaikkan. Sungguh ironis. Jabatan imam digadaikan. Pekerjaan mulia sebagai pembawa suara kenabian direndahkan. Tujuannya hanya satu, yaitu UANG. Kita tidak perlu munafik, bahwa Hamba Tuhan pun perlu uang. Namun jika mereka menyadari sesungguhnya bahwa Tuhan akan mencukupkan kebutuhannya melalui umatnya.  Tidak perlu "melacurkan" diri dengan ikut berkubang di politik. Biarlah itu menjadi ranah pelayanan para politikus.

Belakangan kemudian beredar di dunia maya tentang ibadah syukuran atas kemenangan salah satu calon presiden, yang dilakukan oleh beberapa oknum Hamba Tuhan dan organisasi gerejanya. MEMALUKAN. Bukan ibadahnya, tetapi apa yang terjadi dalam ibadah tersebut. Apakah khotbah, doa, maupun sambutan-sambutan yang menjadi satu rangkaian dalam ibadah, tidak menunjukkan suatu persekutuan yang memberikan kesejukan mapun sukacita. Yang ada hanyalah eforia seakan-akan hasil pilpres sudah ditetapkan. Yang lebih menggelikkan adalah doa-doa yang dinaikkan bahkan ucapan berkatpun seolah-olah memaksa Tuhan untuk mengikuti kemauan mereka bahwa capres yang didukungnya harus menang. Konten doa pun mengandung tuduhan bahwa ada pihak yang melakukan kecurangan.

Kita semua pasti tahu, tidak ada makan siang gratis. Ada harga yang harus dibayar oleh calon presiden. Terlepas dari benar atau tidaknya  rumor yang beredar bahwa seorang oknum Hamba Tuhan menerima uang yang sangat besar, tidak sepantasnya hal itu dilakukan.  Lakukanlah tugas seorang gembala yang baik yang rela berkorban untuk kawanan domba gembalaannya. Bukan sebaliknya, memanfaatkan suara umat untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Jadilah Hamba Tuhan yang benar, bukan HAMBA UANG.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline