Di akhir Bulan September selalu terngiang dalam pikiran ialah tentang tragedi penculikan tujuh Jenderal Angkatan Darat pada 50 tahun yang lalu. Gerakan 30 September PKI (G 30 S PKI) seperti orde baru menyebutnya, Gestapu (GErakan September TigA PUluh) sebutan harian Angkatan Bersenjata atau Gestok (GErakan SaTu Oktober) yang menjadi sebutan Bung Karno dalam pidato kenegaraan terakhirnya pada 17 Agustus 1966 dengan judul Djasmerah yang terkenal itu. Pada titik ini, missing link terhadap sejarah perjalanan bangsa Indonesia terjadi, bahkan seperti terjadi difraksi terhadap sejarah. Sangat banyak versi mengenai kejadian misterius ini hingga keberadaan Supersemar. Pelbagai penelitian dan tulisan dari dalam negeri maupun luar negeri bisa dijadikan acuan referensi.
Memang pada 1965 saya belum terlahir untuk merasakan atmosfer pada masa itu, bahkan ayah saya pun belum terlahir di dunia. Sehingga mungkin apa yang dituliskan ini tidak cocok atau kurang pas di benak dan hati rekan-rekan dan saudara sekalian. Sebagai golongan muda, saya hanya mencoba menuangkan apa yang saya tahu dan saya analisa, sehingga kalau ada yang kurang pas mohon bisa ditambahkan agar menjadi pengetahuan baru bagi saya.
Saya sudah membaca pelbagai referensi, baik di internet maupun yang dalam bentuk buku. Berbagai sudut pandang dari berbagai versi cerita tentang peristiwa ini. Sehingga saya akan berusaha menguraikan seobjektif mungkin. Cerita tentang tahunya Presiden Soekarno, tentang keoportunisan Mayjen. Soeharto kala itu, keterlibatan CIA, konflik internal Angkatan Darat, hingga campur tangan Partai Komunis Indonesia. Yang terbaru yang sudah saya baca ialah buku dari Peter Kasenda tentang Soekarno, Marxisme, dan Leninisme, dan buku Prof. Salim Said Dari Gestapu ke Reformasi.
Kita akan sulit membayangkan yang terjadi pada masa itu jika kita tidak tahu suasana latar belakang sosial politik ekonomi kala itu. Juga akan sulit jika kita tidak mengetahui siapa itu Bung Karno, siapa Pak Harto, siapa D.N. Aidit, siapa Soebandrio, siapa Laksdya Udara Omar Dhani, dan siapa ketujuh perwira tinggi yang menjadi sasaran gerakan tersebut. Tentu saya tidak akan mengulas beliau-beliau satu per satu. Tetapi latar belakang tersebut bisa dijadikan benang merah peristiwa ini.
Pada masa Demokrasi Terpimpin setelah Dekrit Presiden 1959, Bung Karno dengan penuh memegang jalannya negara dan jalannya pemerintahan di Indonesia. Beliau diangkat sebagai Presiden Seumur Hidup, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, Mandataris MPRS, Presiden Perdana Menteri, Paduka Yang Mulia Presiden, Pemimpin Besar Revolusi oleh MPRS. Dan juga setelah tidak didampingi Bung Hatta sebagai wakil presiden. Bung Karno menjalankan ekonomi berdikari, menjalankan politik luar negeri yang ciamik, merebut Irian Barat, hingga berkonfrontasi dengan Singapura dan Malaysia. Nasakom yang menjadi jargon politik Ir. Soekarno untuk membangun negara di atas kemajemukan ideologi yang ada, dan juga untuk menunjukkan kepada dunia bahwa di atas keheterogenan bangsa Indonesia, Indonesia mampu membangun negerinya. Itulah yang menjadi indoktrinasi politik dalam negeri dan jualan Bung Karno kepada dunia Internasional.
PNI sebagai wakil dari golongan nasionalis, NU khususnya sebagai wakil golongan agama, dan PKI sebagai perwakilan golongan sosialis-komunis. Dalam prakteknya terjadi friksi antara golongan-golongan tersebut, terutama dengan Angkatan Darat akibat pelaksanaan dari Dwifungsi. Dan dalam politik luar negeri kedekatan Indonesia dengan timur sangat kental dengan adanya Poros Jakarta-Peking-Pyongyang dan Nefo untuk melawan PBB dan Oldefo. Juga karena konfrontasi dwikora dan operasi trikora di Irian. Dan akhirnya konflik tersebut memuncak pada 1965 dan berujung Gestapu tersebut.
Permintaan PKI agar dibentuk adanya Angkatan Kelima di luar Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian ditentang oleh petinggi Angkatan Bersenjata dan Angkatan Darat khususnya. Menurut AD sangat riskan mempersenjatai buruh dan tani untuk diikutkan konfrontasi. Dan Letjen. Ahmad Yani ialah sosok paling vokal menentangnya dan D.I. Panjaitan yang membongkar pengiriman senjata dari Tiongkok yang diselundupkan bersamaan dengan bahan bangunan untuk pembangunan pada masa itu. Hingga munculnya isu Dewan Jenderal dan Dewan Revolusi. Aktifnya Sjam Kamaruzzaman sebagai Biro Khusus PKI yang dianggap membina tentara-tentara komunis juga santer terdengar. Friksi politik memuncak menjelang tanggal 30 September, ditambah dengan isu bahwa Bung Karno sedang sakit keras dan terancam meninggal dunia. Dikatakan bahwa sebelum Pangti yang juga sebagai pelindung politik terutama sekali dari Angkatan Darat benar-benar meninggal, maka dikatakan PKI menyerang Angkatan Darat terlebih dahulu sebelum mereka sendiri dihancurkan secara politik dan fisik oleh Angkatan Darat. Dalam hal ini dikatakan PKI meminta kepada Letkol. Untung, yang juga salah satu Komandan Grup Tjakrabirawa untuk menculik para perwira tinggi yang menjadi sasaran. Letkol Untung sendiri memang sudah lama dikaitkan sebagai perwira abangan sejak masih bertugas di Jawa Tengah.
Rumor bahwa Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno sakit keras hingga terancam nyawanya juga patut untuk dipertanyakan. Memang benar sang Pangti sudah menderita komplikasi penyakit jauh-jauh hari, bahkan sempat berobat ke luar negeri pada tempo 1962-1963. Rumor yang sama juga berkembang mendekati Upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi pada 17 Agustus 1965, bahkan dikatakan Bung Karno akan berpidato bukan di podium seperti biasanya tetapi membacakannya dari tempat berbaringnya di rumah sakit. Toh, dengan bukti bahwa beliau masih bisa berdiri dengan gagah membawakan pidato Nawaksara pada Sidang Umum MPRS 1966 dan pidato kenegaraan pada 17 Agustus 1966 cukup mengikis rumor tersebut. Bahkan beliau baru meninggal pada 1970 sebagai tahanan rumah di Wisma Yaso milik salah satu istrinya, Ratna Sari Dewi Sukarno. Bahkan pada 30 September malam hari, dikatakan Bung Karno masih berpidato di Senayan dengan sehat dan baru pulang ke Istana jelang dinihari.
Ada juga suara yang mengatakan bahwa penculikan berujung pembantaian tersebut merupakan instruksi langsung dari presiden. Untuk hal ini saya lebih suka memakai logika yang diungkapkan Prof. Salim Said dalam bukunya, bahwa jelas sebagai Pangti, sebagai pimpinan tertinggi negara yang berhak mengetahui segala informasi termasuk informasi intelijen Bung Karno tahu. Dan juga memang mungkin Presiden Soekarno memerintahkan penculikan, tetapi penculikan yang dimaksud ialah untuk pendaulatan seperti yang dialaminya bersama Hatta dan Sjahrir pada Peristiwa Rengasdengklok jelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Seperti yang diungkapkan Prof. Salim Said, tradisi penculikan untuk pendaulatan pada masa itu ialah tradisi politik yang normal untuk menjalankan pemerintahan., bahkan beliau juga mengutip pidato Presiden Soeharto pada HUT Kopassus di Riau pada medio 1980an yang secara tersirat mengungkapkan ‘bolehnya’ penculikan untuk pendaulatan anggota MPR jika anggota tersebut membahayakan negara. Lantas apa yang mendasari pendaulatan tersebut jika memang Bung Karno memerintahkannya? Bisa berspekulasi bahwa Bung Karno ingin menjadikan AD tunduk tanpa tedeng aling-aling seperti AURI di bawah Omar Dhani.
Bahwa dalam prakteknya penculikan tersebut berujung pada pembunuhan dan pembantaian para perwira Angkatan Darat itu menunjukkan bahwa buruknya perencanaan, lemahnya koordinasi, dan briefing yang diberikan pada pelaksana lapangan pastilah teramat buruk. Bayangkan, puluhan pasukan Tjakrabirawa yang umumnya tentara angkatan darat tidak mengetahui yang mana seorang Nasution yang merupakan orang nomor satu TNI pada masa itu dan juga merupakan jenderal penuh bintang empat satu-satunya dan pertama kali di Indonesia kala itu. Hingga Jenderal A. H. Nasution berhasil kabur, dan yang tertangkap adalah ajudannya Lettu Pierre Tendean dan anaknya Ade Irma Suryani Nasution tertembak, sungguh konyol untuk sebuah operasi militer.