Jika aku dapat berbicara cinta, tiada rindu bermakna. Lebih baik lidahku menjadi kelu, daripada harus kuucapkan kata semu yang terselubung oleh nafsu.
Sepenggal larik yang tak beritma manja dan membuaikan mata. Itulah sebuah gaya bahasa. Bukan oleh mulut, aku melafadzkan syair kerinduan yang masih terpenjara. Inginku ialah engkau mengerti dari setiap inchi pola sikapku, telah menyuguhkan suatu hidangan. Mungkin terasa lezat bagiku, entah bagaimana engkau mengecapnya.
Sampai batas waktu, di mana aku akan tetap bersembunyi. Hingga di mana kaupun menyadari. Di sini ... masih ada senandung tanpa nada yang tak terdengar oleh telinga.
Dan lihatlah pada ilalang itu yang menari, sekalipun gelisahnya terludahi, tiada dapat buahnya dinikmati layaknya padi. Namun, masih tetap ia berdiri dan menari. Seperti itulah kerinduanku, menjadi suatu kenyamanan ketika persinggahanmu menjadi tempat, yang tak layak lagi untuk merebahkan hati yang temaram.
Bukankah sejuknya terasa menghibur hatimu. Pelampiasan mata pada ilalang itu, adalah suatu fase yang tak terungkap. Tak indah juga, untuk dikecap. Berarti, bila tiada lagi lidahmu tak mampu menguntai kata.
Dan tutuplah mata ketika hadirmu berada di tengah ilalang itu. Maka angin, akan membisikkan suatu kata, “masih ada satu kata cinta tersisa, bukan oleh keanggunan dunia ia terucap. Melainkan lewat ukiran doa, yang selalu menghiasi langit hitam, dan menyadarkanmu di waktu petang. Mendekapmu di saat fajar. Lewat mata, yang selalu menyapa diam dengan sejuta cintanya yang bergolak tak kunjung padam.”
Semarang, 28.01.15
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H