Lihat ke Halaman Asli

RhetIM

Orang biasa

Lentera Padam

Diperbarui: 25 Desember 2015   09:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

LENTERA PADAM

Oleh: Rhet Imanuel

Dan ketika gelap itu datang, hening tiada mengecup kening itu agar ia dapat terlelap. Telah terhitung bulan dan tahun yang lalu. Masih terbaca setiap frasa yang terucap. Di lekuk bibirnya masih didapati ia tersenyum. Setelahnya, biarkanlah kali ini ia terlelap dan dihanyut oleh mimpi-mimpinya.

Bukankah ada waktunya kapan ia akan terbangun? Semenjak di batas waktu itulah, mungkin juga ia akan kembali lagi. Tapi entah kapan. Pada hitungan, baik jam maupun menit dan detiknya, tiada sosok yang mengetahui.

Lelaplah sudah. Dan ia pun tahu kepada siapa sapanya diadakan. Bila tak ingin terheran, tiadakanlah penantian yang mencoba untuk mengganggu tidur lelapnya. Untuk apalah ia lelah jika bukan menyempurnakan segala sketsa, yang telah susah payah ia reka-rekakan.

Dan berikanlah waktu sejenak saja untuknya dapat menikmati alam surgawi. Di sana. Ya, di sanalah ia harus mendapatkan ketenangannya--meski itulah perjalanannya yang selalu ditempuh dengan sendiri.

“Kurasa, jalan setapak itu bukanlah suatu hal bijak untuk mereka. Dan biarlah, aku merasakan dan menempuh jalan pulang. Setelah itu biarkan aku terlelap dalam dinginnya malam.” Itulah secarik pesan yang ditinggalkannya di atas meja.

Dialah jiwaku. Dialah yang sedang dan akan menidurkan segalanya. Hingga pada waktu di mana tidak seorangpun boleh mengatakan padanya, “kembalilah bahwasannya kita satu dalam ikatan darah!”

Tidak! Jangan biarkan itu terjadi. Biarkan hujan dan hujat kebencian tumbuh dalam jiwa-jiwa tersembunyi mereka. Tetapi, jiwaku, di suatu masanya ia pasti terjaga dan menyongsong mentari pagi kembali. Bukanlah mimpi yang mereka guraukan, seakan telah menapak tilas langit oleh jejak-jejak kesombongan.

Sesempurnanya dianggap sebagai pahlawan, selalu saja sakit atas ketidaksinambungan pikir yang tak sejalan. Lalu aku datang, sementara ia sebagai jiwaku itu telah lama mencium aroma yang tak sedap.

Inilah waktunya untuk jiwaku terlelap. Hanyalah ia yang selalu berlalu-lalang di hari-hari kemarin. Mengombak. Memecahkan karang-karang di lautan. Namun, tetap saja ia disangkakan tsunami yang memporakporandakan kediaman hati yang disangkakan mereka bertuan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline