Otonomi daerah memberikan hak, wewenang, dan kewajiban pada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya , namun dalam pelaksanaannya pemerintah daerah juga menghadapi keterbatasan dalam sumber pendanaan. Daerah Kabupaten dan kota masih sangat bergantung pada dana perimbangan yang diberikan Pemerintah Pusat, termasuk Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Sumber pendapatan lainnya yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah juga terbatas karena banyak digunakan untuk belanja rutin. Dengan kondisi keuangan seperti ini membuat sulit bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan proyek-proyek pembangunan karena keterbatasan anggaran. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus berinovasi dalam upaya mencari sumber-sumber pembiayaan pembangunan demi tercapainya kesuksesan pelaksanaan otonomi daerah seperti pinjaman daerah. Pinjaman daerah tersebut dapat bersumber dari (1) Pemerintah, (2) Pemerindah Daerah lain, (3) Lembaga keuangan bank, (4) Lembaga keuangan bukan bank dan (5) Masyarakat.
Adanya Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan sebuah peluang kepada pemerintah daerah untuk mengumpulkan dana atau sumber daya (Fund Raising) dalam rangka pembiayaan pembangunan dan pengembangan daerah melalui penerbitan obligasi daerah seperti yang dituangkan dalam pasal 57 Undang-Undang tersebut yang lebih rinci mengatur obligasi daerah sebagai salah satu sumber pembiayaan daerah.
Obligasi (bond) daerah merupakan surat berharga atau sertifikat yang berisi kontrak antara pemberi pinjaman (dalam hal ini pemodal) dengan yang diberi pinjaman (emiten) yang diterbitkan oleh pemerintah daerah yang ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal. Penerbitan obligasi daerah wajib memenuhi ketentuan dalam Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, serta mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Tujuan dari penerbitan obligasi daerah adalah untuk membiayai suatu kegiatan investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Penerbitan obligasi daerah tidak ditujukan untuk menutup kekurangan kas daerah. Obligasi ini tidak dijamin oleh Pemerintah Pusat (Pemerintah) sehingga segala resiko yang timbul sebagai akibat dari penerbitan obligasi daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah Penerbitan surat utang merupakan bukti bahwa pemerintah daerah telah melakukan pinjaman/utang kepada pemegang surat utang tersebut. Pemerintah daerah yang menerbitkan obligasi daerah berkewajiban membayar bunga secara berkala sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan. Pada saat jatuh tempo pemerintah daerah berkewajiban mengembalikan pokok pinjaman. Penerbitan obligasi daerah dapat menjadi alternatif pembiayaan pembangunan infrastruktur, dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian untuk meminimalkan resiko yang ada.
Dalam hal penerbitan obligasi daerah, Kepala Daerah wajib menyampaikan Peraturan Daerah mengenai penerbitan Obligasi Daerah kepada otoritas di bidang pasar modal dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, sebelum pernyataan efektif Obligasi Daerah. Peraturan Daerah mengenai penerbitan Obligasi Daerah tersebut kurang lebih memuat ketentuan yaitu
Jumlah nominal obligasi daerah yang akan diterbitkan;
Penggunaan dana obligasi daerah; dan
Tanggung jawab atas pembayaran Pokok, Bunga, dan biaya lainnya yang timbul sebagai akibat penerbitan obligasi daerah.
Tetapi tidak semua pembiayaan pembangunan infrastruktur daerah dapat dibiayai dengan obligasi daerah. Penerbitan obligasi daerah hanya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan atau beberapa kegiatan investasi prasarana dan/atau sarana dalam rangka penyediaan pelayanan publik yang menghasilkan penerimaan bagi APBD yang diperoleh dari pungutan atas penggunaan prasarana dan/atau sarana tersebut. Kegiatan tersebut harus sesuai dengan dokumen perencanaan daerah. Kegiatan pemerintah daerah yang dapat dibiayai dengan obligasi daerah di antaranya di bidang (1) pelayanan air minum, (2) penanganan limbah dan persampahan, (3) transportasi, (4) rumah sakit, (5) pasar tradisional, (6) tempat perbelanjaan, (7) pusat hiburan, (8) wilayah wisata dan pelestarian alam, (9) terminal, (10) perumahan dan rumah susun dan (11) pelabuhan lokal dan regional.
Salah satu sumber pembiayaan pembangunan di daerah adalah pinjaman daerah. Pinjaman daerah tersebut dapat bersumber dari masyarakat, yaitu obligasi daerah. Obligasi yang akan diterbitkan oleh pemerintah daerah di Indonesia, harus diterbitkan dalam mata uang Rupiah dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pasar modal. Prosedur penerbitan obligasi daerah meliputi tahap-tahap, yaitu perencanaan penerbitan obligasi daerah oleh pemerintah daerah, pengajuan usulan rencana penerbitan obligasi daerah oleh pemerintah daerah kepada Menteri Keuangan, penilaian dan persetujuan oleh Menteri Keuangan, pengajuan pernyataan pendaftaran umum obligasi daerah, penerbitan obligasi daerah di pasar domestik. Dana masyarakat yang dihimpun dari hasil penjualan obligasi harus digunakan untuk membiayai investasi sektor publik yang selain dapat memberikan manfaat bagi masyarakat juga harus menghasilkan penerimaan guna membiayai kewajiban bunga dan pokok obligasi daerah yang membiayai kegiatan tersebut.
Pemerintah membuat program dalam mendukung pembiayaan pemerintah daerah yakni program Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional (Pinjaman PEN). Pinjaman PEN bertujuan untuk mendukung percepatan pembangunan infrastruktur yang sempat terhambat oleh pandemi Covid-19. Dalam mendapatkan peminjaman PEN, pemerintah daerah harus memenuhi empat syarat, yaitu (1) Daerah tersebut merupakan daerah yang terdampak pandemi Covid-19, (2) Pemda tersebut memiliki program atau kegiatan pemulihan ekonomi yang sesuai, (3) Pemda memiliki kemampuan untuk melakukan pengelolaan pinjaman dengan baik, (4) Pemda harus memiliki kemampuan untuk mengembalikan pokok pinjaman PEN Daerah yang dilakukan melalui pemotongan Dana Transfer Umum (DTU).
Pinjaman PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) Daerah dapat mendorong pembangunan infrastruktur. Walaupun begitu, pembangunan infrastruktur harus diikuti dengan kemampuan daerah dalam melakukan pembangunannya. Seperti pada Kabupaten Gorontalo, kabupaten tersebut masih belum mampu melakukan pembangunan infrastruktur dengan baik. Kabupaten Gorontalo memiliki 14 proyek yang didanai oleh Pinjaman PEN Daerah, peminjaman tersebut senilai Rp366.676.492.204,53. Proyek tersebut gagal dikarenakan kurangnya kemampuan dalam pengelolaan keuangan daerah. Proyek tersebut mengalami putus kontrak sehingga menimbulkan kerugian material (berupa uang atau benda kekayaan) dan immateril (tidak dapat dinilai jumlah/uang). Kerugian material tersebut terlihat dari Laporan Hasil Pemeriksaan BPK yaitu kerugian dalam penerimaan daerah dari denda keterlambatan 15 proyek yang belum ditetapkan sebesar Rp20.615.190.302,71. Sedangkan kerugian immateril yakni penggunaan dari pembangunan infrastruktur yang belum bisa dirasakan masyarakat.