Mungkin beberapa dari Anda saat ini sulit menemukan warung jamu yang masih eksis hingga sekarang. Namun, di sudut Pakualaman, saya menemukan Warung kecil yang menjual jamu, Jamu Ginggang namanya. Ketika saya berkunjung, Warung ini telah memikat hati saya dengan nuansa tradisionalnya. Menelisik lebih lanjut, racikan Jamu Ginggang dipelopori oleh Mbah Joyo selaku tabib di Keraton Pakualaman pada masa Paku Alam VII pada tahun 1925 tetapi baru dapat dinikmati oleh masyarakat mulai tahun 1950. Nama Ginggang sendiri diambil dari nama Mbah Joyo yang diberikan oleh Paku Alam karena keakrabannya dengan beliau, yaitu "Tan Genggang."
Bangunan Warung yang masih dipertahankan sejak berdiri membuat Warung Jamu Ginggang masih erat dengan suasana tempo dulu. Nuansa tembok berwarna putih gading dan keramik berwarna merah gelap serta menu yang ditempel di dinding, membuat saya sebagai pembeli mudah untuk menentukan pilihan jamu. Di Warung Jamu Ginggang, saya bertemu dengan Bapak R yang saat itu bertugas mengantarkan pesanan jamu kepada pelanggan. Beliau bercerita hingga saat ini Pura Pakualaman masih sering meminta Warung Jamu Ginggang sebagai pemasok jamu yang akan disuguhkan ke para tamu.
Beliau menjelaskan khasiat dari setiap ramuan jamu yang ia sediakan, seakan menghidupkan kembali kearifan lokal yang hampir terlupakan di tengah gemerlapnya kehidupan kota. Bapak R juga bercerita bahwa jamu yang di jual di warung ini masih menggunakan alat tradisional, yaitu berupa alas batu dan kayu panjang untuk menumbuk rempah-rempah..z Lebih dari sekadar pelayanan, Bapak R turut berbagi kearifan lokal dan nilai-nilai kesehatan yang turun temurun.
Sambil menikmati jamu beras kencur yang saya pesan, saya mengamati warung ini memiliki rak-rak kayu yang penuh dengan berbagai macam rempah-rempah dan bahan alami yang digunakan untuk menyeduh jamu. Saya melihat para pelanggan dari berbagai kalangan usia datang dan pergi, beberapa dari mereka tampaknya sudah menjadi langganan tetap di warung ini. Saat meneguk satu gelas penuh jamu beras kencur yang saya pesan, saya sama sekali tidak merasakan adanya rasa manis dari pemanis buatan maupun pengawet. Rempah rempah yang dipilih merupakan rempah yang berkualitas. Meskipun hanya satu gelas jamu yang saya teguk, jamu beras kencur di Warung Jamu Ginggang sukses melepas dahaga saya di siang bolong. Tekstur dalam Jamu Ginggang sangatlah menyegarkan di setiap tegukan, tidak ada ampas yang teraba. Tidak dapat dipungkiri, aroma rempah-rempah jamu memang tidak pernah salah. Rasanya seperti kembali ke puluhan tahun yang lalu.
Warung Jamu Ginggang masih menyimpan dengan rapi kisah-kisah terkait eksistensinya dari dulu hingga sekarang. Warung ini akan selalu mengingatkan kita akan kekayaan budaya yang masih bernyawa di tengah pesatnya modernisme. Di Warung Jamu Ginggang, saya tak hanya menemukan racikan minuman tradisional, tetapi juga menemukan banyak kepingan sejarah yang tak terlupakan, sejarah yang mengajarkan saya akan nilai-nilai yang tetap berharga di tengah arus perubahan zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H