Lihat ke Halaman Asli

Rheina Meuthia Ashari

Mahasiswi S1 Pariwisata Universitas Gadjah Mada

Sinergitas Masyarakat Adat, Kearifan Lokal dan Ekowisata

Diperbarui: 6 Desember 2022   13:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: perkumpulankarsa.org

Eksploitasi yang terjadi di kawasan ekowisata biasanya dilatarbelakangi oleh pembangunan yang semakin berkembang pesat sehingga menyebabkan kebutuhan pun akan semakin bertambah. Akhirnya, eksploitasi terhadap lingkungan alam di Kawasan ekowisata yang belum memiliki pengelolaan yang ketat tidak dapat terhindarkan. 

Faktanya, beberapa destinasi ekowisata hanya berusaha memenuhi keinginan wisatawan tetapi tidak melakukan perlindungan atau konservasi sebagaimana mestinya. Dalam pengelolaan suatu destinasi ekowisata, sering ditemui bahwa tujuan dan fokus dari pemerintah, stakeholder, dan masyarakat berseberangan satu sama lain. Dari sini kita dapat melihat adanya goncangan-goncangan yang terjadi di beberapa taman nasional yang berada di Indonesia. Kemajuan ilmu pengetahuan serta pemikiran rasionalitas terkait keuntungan ekonomi merusak keselarasan alam yang sebelumnya berjalan dengan  nilai-nilai ekologis dan kearifan lingkungan yang lokal.

Dampak yang ditimbulkan dari kerusakan ekologi tentunya akan sangat berpengaruh terhadap masyarakat adat yang tinggal di sekitar kawasan lindung tersebut. Masyarakat adat rentan termarginalkan dan keberadaannya terkadang tidak diakui. Masyarakat adat terkadang dianggap sebagai kelompok yang minim pengetahuan sehingga dalam pembangunan dan pengelolaan suatu Kawasan ekowisata masyarakat adat tidak memiliki keterlibatan yang besar. Tak hanya itu, hak kepemilikan dan pemanfaatan sumber daya alam di suatu Kawasan ekowisata juga sering mengalami tumpeng tindih dengan pihak lain seperti Perhutani dan Balai Taman Nasional.

Indonesia seharusnya memiliki ketegasan dalam keterlibatan masyarakat adat beserta local wisdom dalam pengelolaan Kawasan ekowisata. Keterlibatan masyarakat adat dan implementasi local wisdom dilakukan bukan untuk mengesampingkan kebijakan pemerintah dan kepentingan stake holder lain. 

Akan tetapi, keterlibatan dibentuk untuk membangun hubungan yang saling bersinergi antara masyarakat adat dengan pihak lain yang berkuasa. Hal ini juga tertuang pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 Pasal 10 ayat (2) mengenai pemberian ruang pada keterlibatan kearifan lokal pada Rencana Perlindungan dan Penglolaan Lingkungan Alam Hidup (RPPLH). Menurut Nopandry dalam tulisannya yang berjudul “Hutan Untuk Masyarakat Pemanfaatan Lestari Hutan Konservasi”, masyarakat adat  secara tradisional mempunyai kearifan lokal sebagai potensi dan kekuatan dalam pengelolaan suatu kawasan hutan.

Kearifan lokal atau local wisdom yang dituangkan dalam pengelolaan Kawasan ekowisata akan menjadi modal besar untuk menciptakan masa depan yang cemerlang bagi Kawasan ekowisata di Indonesia. Contoh penerapan local wisdom pada pengelolaan Kawasan lindung terdapat di Taman Nasional Gunung Merapi. Taman Nasional Gunung Merapi  sudah memiliki hubungan positif yang kuat antara local wisdom dengan sikap konservasi masyarakat setempat.  

Menurut hasil beberapa penlitian, diungkapkan bahwa persepsi local wisdom memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap pengambilan sikap konservasi masyarakat setempat. Salah satu contoh local wisdom yang diterapkan di Taman Nasional Gunung Merapi adalah pranoto mongso. Pranoto mongso adalah arahan kepada para petani untuk bercocok tanam dengan tetap mengikuti tanda-tanda alam yang dikaitkan dengan mongso atau musim yang sedang terjadi. 

Pranoto mongso juga memberi peringatan kepada para petani agar tidak melakukan eksploitasi terhadap lahan yang melewati batas-batas norma. Tak hanya itu, terdapat pula peringatan agar petani menghemat penggunaan air saat musim kemarau tiba dengan tetap membajak sawah sebagai bentuk konservasi terhadap tanah. 

Taman Nasional Gunung Merapi juga memiliki pohon keramat yang diberi nama Pohon Kalitulangan. Nama Pohon Kalitulangan dan label­-nya sebagai pohon keramat diberikan agar tidak ada yang berani menebang pohon tersebut. Hal ini disebabkan, Pohon Kalitulangan memiliki peran yang besar sebagai penahan air dan penyedia oksigen. Tak hanya pohon keramat, Taman Nasional Gunung Merapi juga memiliki lutung jawa yang dianggap sebagai hewan keramat. Anggapan lutung jawa sebagai hewan keramat didasari oleh eksistensi lutung jawa yang semakin melemah karena terancam punah. Tentunya hal ini akan membantu lutung jawa lebih terlindungi dari perburuan liar.

Selain  Taman Nasional Gunung Merapi, Taman Nasional Baluran dan Gilimanuk ternyata juga menerapkan kearifan lokal milik masyarakat adat sebagai salah satu upaya pelestariannya. Selama ini masyarakat setempat hidup berdampingan dengan mitos-mitos yang dipercaya dan diyakini memiliki korelasi dan relasi yang kuat dengan kelestarian alam Hutan Baluran dan Gilimanuk. Salah satu mitos yang membawa pengaruh besar terhadap kepercayaan masyarakat adalah mitos mengenai Mbah Cuking. 

Mbah Cuking dipercaya sebagai seorang pertapa sakti yang pernah melakukan perjalanan panjang di Hutan Baluran. Semasa hidupnya, beliau dipercaya banyak memberikan ajaran terkait cara pelestarian lingkungan alam. Mitos Mbah Cuking ini hingga sekarang diyakini dan dipercaya untuk dijadikan pedoman hidup masyarakat adat setempat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline