Belum lama ini sempat menghiasi pemberintaan di media masa cetak maupun elektrronik tentang upaya dari kepala daerah untuk mengusung kedinastian di daerahnya dengan mencalonkan atau merestui istri atau anaknya untuk meneruskan jabatan sebagai Bupati/walikata di daerahnya. Hal ini sempat menjadi perhatian Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.
Kali ini masih seputar kepala daerah yang menjadi trend topik pembicaraan, yaitu perilaku kepala daerah yang "Selingkuh" dan akhirnya kawin siri. Peristiwa yang dilakukan oleh kepala daerah kali cukup menyita perhatian publik hingga presiden RI memandang perlu untuk berbicara secara khusus.
Terjadinya kawin siri sangat kuat dugaan diawali dengan peristiwa perselingkuhan yang dilakukan oleh kepala daerah. Perselingkuhan ini bisa terjadi erat kaitannya dengan keterlibatan orang dekat kepala daerah, sebagai mak coblang atau sekedar pendamping untuk memuluskan proses perselingkuhan.
Dua kepala daerah yang melakukan perbuatan mencederai masyarakat yang dipimpinnya terjadi pada Bupati Garut Aceng Fikri dan Walikota Palembang Eddy Santana Putra. Kedua kepala daerah ini sama-sama dipastikan melakukan proses awal dengan perselingkuhan dan kemudian melakukan pernikahan siri. Akan kah peristiwa semacam ini akan terus terjadi pada beberapa kepala daerah yang lain?
Apa yang ada dibenak kepala daerah yang melakukan seperti perbuatan diatas disaat mereka sedang memegang jabatan publik tertinggi di Kabupaten/Kota? Jika mengurut pada akal pemikiran yang benar-benar sehat, perbuatan yang demikian tidak perlu terjadi. Seorang pejabat publik harus memiliki internal alert disaat dia berhadapan dengan prilaku yang mengundang reaksi besar msyarakat.
Menilik pada dua peristiwa yang sama menimpa dua kepala daerah, perlu kiranya dipikirkan terobosan baru mengenai aturan yang baku untuk mencegah terulangnya peristiwa yang mengusik ketentraman masyarakat dengan aroma berita yang tidak sedap. Aturan tersebut dapat tertuang dalam bentuk PAKTA INTEGRITAS yang selama ini sudah dilakukan untuk para pejabat publik, perjabat dilingkungan kedinasan dan anggota legislatif dapat ditambahkan 1 aliniea khusus mengenai bersedianya selama menjabat kepala daerah untuk tidak melakukan perbuatan tercela yang melanggar norma-norma agama dan kemasyarakat, atau jika dipandang perlu secara jelas disebutkan bersedia tidak melangsungkan pernikahan terhalang selama memangku jabatan kepala daerah.
Semoga hal ini cukup efektif mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak layak dan etis oleh seorang kepala daerah dan semakin kurang sedapnya pandangan dunia luar terhadap negara Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H