Pendidikan anak tak lepas dari pengawasan orang tua dan bagaimana masyarakat memperlakukan individu tersebut. Bagaimanapun, pendidikan yang pertama kali diterima seorang anak adalah pendidikan yang diajarkan orang tuanya, dengan bagaimana keluarga tersebut mengajarkan anaknya bermoral, berkarakter, dan berpengetahuan luas.
Lalu bagaimana dengan pendidikan formalnya? Sebagian besar sekolah di Indonesia mengajarkan anak untuk berpikir dan menghafal. Pendidikan moral di sekolah seolah dikesampingkan. Memang benar, kini kurikulum terbaru menomer satukan akhlak dalam penilaiannya. Namun, penilaian kuantitas yang dipegang pendidik rupanya masih dianggap sebagai nilai utama dan bukannya nilai akhlak. Jika suatu bangsa memiliki kualitas pendidikan yang baik, niscaya bangsa tersebut akan lebih maju dan berkembang.
Ironisnya, sebagian besar kasus pendidikan yang terjadi adalah kasus penyimpangan moral seperti tawuran, pelecehan seksual, pungutan liar, bahkan contek -- menyontek adalah hal yang umum dikalangan pelajar. Sebut saja kasus penganiayaan pada siswa kelas V SD di Jakarta Timur, kasus bunuh diri siswi SMP di Tabanan Bali, kasus kekerasan Seksual oleh Emon di Sukabumi Jawa Barat, serta beberapa kasus bullying lainnya yang masih marak di berbagai sekolah. Hal tersebut dikarenakan kualitas dan moral siswa/i masih dibilang rendah. Dengan demikian, Indonesia membutuhkan pendidikan moral dan sosok keteladanan
Sekolah di Jepang tidak memberikan ujian hingga anak tersebut berada di kelas 4 SD. Bukan tanpa alasan, mereka nengajarkan moral terlebih dahulu diatas pengetahuan. Kita dapan menemukan banyak orang yang berpengetahuan luas dengan mudah. Namun akan sangat sulit untuk mendapati orang yang berpengetahuan luas dan bermoral.
Maka, disitulah peran keluarga dan masyarakat yang sesungguhnya. Ketika pendidikan formal sibuk menargetkan pengetahuan sebagai 'produk' utamanya, keluarga dan masyarakat harus mengimbanginya dengan pendidikan moralnya. Sebagian besar orang tua menyerahkan pendidikan anaknya kepada instansi pendidikan seperti sekolah atau pun bimbingan belajar sepenuhnya. Padahal, orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam pendidikan anak.
Alangkah baiknya jika orang tua tidak sepenuhnya 'melepas' tanggung jawab sebagai seorang pendidik begitu saja. Anak akan cenderung meniru hal yang salah dari lingkup eksternalnya, seperti televisi, internet, lingkungan, dan sebagainya. Maka peran orang tua adalah mencegah agar hal -- hal yang diterima anaknya adalah hal -- hal positif, dan untuk menyaring segala bentuk input yang diterima anak.
Bagaimana masyarakat memperlakukan seorang anak juga berpengaruh besar pada karakter anak tersebut. Dikatakan bahwa lingkungan yang baik akan menghasilkan pribadi yang baik, dan sebaliknya. Karena bagaimanapun, seorang anak akan mengikuti apa yang dilihat, didengar, dan dirasakannya. Masyarakat modern dan dinamis cenderung apatis terhadap lingkungannya. Hal itulah yang perlu dibenahi agar saling menjaga kerukunan dan peduli terhadap sesama. Dengan organisasi masyarakat, atau perkumpulan penyalur kreatifitas, diharapkan anak dapat mengambil dampak baik dalam ruang lingkup sosialnya.
Selain itu, keluarga juga berperan dalam segi ekonominya. Berdasarkan data UNESCO, jumlah anak Indonesia yang putus sekolah pada tahun 2010 mencapai 160.000 anak, dan meningkat pada tahun 2011 yang mencapai 260.000 anak. Jumlah tersebut terus meningkat pada tahun 2013 yang mana mencapai 1,3 juta anak. Faktor tersebut tak lepas dari faktor ekonomi keluarga, serta lokasi sekolah yang sulit dijangkau.
Kita dapat menemukan banyak anak-anak yang tidak dapat menikmati pendidikan dengan menghabiskan waktu dijalanan. Padahal, hak-hak anak untuk dapat mendapat pendidikan sudah dijamin oleh pemerintah. Maka disitulah peran keluarga, untuk memenuhi hak-hak anak untuk mendapatkan pendidikannya.
Memang hal tersebut tidak lepas dari faktor ekonomi yang tentunya juga merupakan campur tangan pemerintah. Namun begitu, pemerintah sudah mengeluarkan KIP yang tentunya harus didapatkan dengan tepat sasaran.