Bung Hatta
Angin menyambut, Matahari berseri, dan pohon-pohon menari seolah memberi isyarat bahwa mereka kegirangan. Disisi lain, terdapat wanita yang tengah kelelahan. Lelah namun bahagia, mengingat bahwa perjuangannya menahan rasa sakit dan menanggung bebasn selama ini telah terbayar untas oleh lahirnya malaikat kecil yang dimana saat kelahirannya seolah alam pun ikut bahagia karenanya. Bayi lakilaki, lahir dengan sehat dan bahagia. Doa dan harapan-harapan kecil selalu terucap dari mulut sang ibu, tatkala meihat sang putra. Dan kita tahu bahwa do'a ibu merupakan kekuatan yang teramat besar bagi anak anaknya.
Pada 12 Agustus 1908, hari dimana pasangan asal Minangkabau ini tengah bercucuran air mata haru. Muhammad Athar, begitulah Muhammad Djamil dan Siti Saleha menamai anak mereka. Nama yang sudah ketara sekali memiliki kaitan erat dengan ke islaman. Nama Athhar sendiri diambil dari bahasa Arab yang memiliki arti "harum". Muhammad Athar lahir dari keluarga yang memiliki latar belakang Islam yang kental. Sang ayah, Muhammad Djamil merupakan keturunan dari seorang Ulama tarekat di Batuhampar, Payakumbuh, Sumatra Barat. Sedangkan sang ibu Siti Saleha beasal dari keluarga pedagang di Buikittinggi,beberapa orang mamaknya merupakan pedagang besar di Djakarta .Sang Kakek dari pihak ayah, yaitu Abdurrahman Batuhampar sendiri merupakan seorang pendiri masjid Batuhampar .Masjid yang merupakan bekas sejarah dari Perang Padri yang masih bertahan dan tersisa.
Hari bahagia, hari dimana mereka damba. Tatkala Hatta lahir ke dunia, sambutan Adzan dari sang ayah pun berkumandang ditelinganya, seraya memanjatkan doa saat adzan selesai berkumandang ,"Semoga engkau selalu berada dalam lindungan Allah wahai putraku, semoga engkau dapat tumbuh menjadi orang hebat yang nantinya akan berjasa pada negeri ini..amin..." Ketulusan sang ayah amat sangat ketara disaat ia memanjatkan do'a bagi sang putra. Berharap bahwa sang putra dapat menjadi seseorang yang akan berjasa pada negeri, seolah menjadi mantra bagi Hatta si bayi lelaki mungil yang berada dalam gendongan ayahnya. Tatkala menyaksikan interaksi yang terjadi sejak tadi antara suami dan anaknya tersenut, sang ibu tersenyum haru selagi terus memandangi dan malah semakin lekat memandangi keduanya. Seraya memandangi keduanya dengan penuh rasa kasih, ia memanjatkan do'a.
Hari demi hari dilalui dengan penuh suka dan duka. Menjalani hari sembari mengawasi perkembangan sang buah hati tersayang. Melihatnya belajar membalikan badan dari posisi berbaring, melihatnya tersenyum gemas saat sang ayah maupun ibu berusaha mengajaknya bicara. Semua hal kecil itu merupakan penghibur diri, pelepas penat sang ayah maupun ibu dari kegiatan beraktivitas sehari-hari di negeri jajahan Belanda ini. Keluarga Hatta memang bukanlah keluarga yang miskin atau terpuruk tinggal di negeri yang tengah berada dalam masa penjajahan, namun tetap saja ada kekhawatiran yang menghantui mereka. Rasa khawatir akan terjadi sesuatu yang mengancam keluarga mereka nantinya. Biar bagaimanapun mereka tetaplah warga negara Indonesia yang negerinya sedang ada dalam jajahan bangsa lain. Keadaan yang damai belum tentu akan selalu menyuguhkan kedamaian batin pada mereka. Seperti halnya pepatah yang menyatakan bahwa "Air yang tenang belum tentu tidak menyimpan bahaya di dalamnya."
Hatta lahir sebagai anak yang sehat, ceria dan juga pintar. Di sebuah ranjang yang terletak di satu kamar, terlihat Hatta tengah bermain main di atas kasur dengan mainannya. Sang ibu mengawasi sembari merapikan pakaian kedalam lemari yang terletak di pojok kamar tersebut. "Hatta..., putra ibu yang paling tampan... Nanti kalau sudah dewasa Athar tidak boleh nakal yaa. Athar tidak boleh jahat terhadap orang lain, Athar tidak boleh menindas orang lain. Pokoknya.. Athar harus tumbuh menjadi orang yang hebat nantinya." Mengajak sang putra berbicara dengan nada lembut penuh kasih. Hatta, begitulah panggilan yang ia dapatkan dari orang orang di sekitarnya. Panggilan tersebut ia dapatkan karena bagi orang orang di wilayahnya, nama Athar sedikit sulit untuk dilafalkan. Oleh karena itu, masyarakat sekitar memanggil Athar dengan panggilan Hatta dan dalam pelafalannya hampir sama dengan pelafalan nama Athar. Sholeha tau bahwa putranya belum dapat mengerti sepatah kata pun yang ia ucapkan tadi, namun setidaknya hal sederhana tersebut dapat ia jadikan sebagai sarana untuk bercerita. Sarana untuk menceritakan segala keluh kesah yang dialaminya sehari-hari. Setidaknya, dapat mengurangi sedikit beban tatkala melihat Hatta yang seringkali kedapatinya mengubah raut di wajah gembulnya. Raut wajah yang tiba-tiba berubah serius saat sang ibu mengajaknya bicara, membuatnya terlihat seolah-olah mengerti akan apa yang diucapkan sang ibu.
Saat tengah asik bercerita, tiba-tiba Hatta merengek karena mainannya yang terjatuh dari atas ranjang. Ia terus-terusan merengek sampai diambilkannya mainan tersebut oleh sang ibu. "Lain kali hati-hati ya..," kata sang ibu sembari mencubit gemas pipi gembul Hatta yang memerah akibat menangis tadi. Saliha melanjutkan kembali aktivitasnya, begitu pula dengan putranya Hatta yang kembali disibukkan dengan mainan miliknya. Menghabiskan waktu bersama sembari terfokus dengan kesibukan mereka masing-masing, sembari menunggu kedatangan ayahnya ke rumah. Sesekali, Saliha mencuri curi pandang pada sang putra ditengah kesibukan pekerjaannya merapikan pakaian. Melihat tingkah menggemaskan bayi mungilnya sembari melakukan pekerjaan rumah, dapat membuat kegiatan melelahkan ini menjadi sungguh menyenangkan. Ayah Hatta merupakan seorang pedagang, setelah meninggalkan kehidupan sebagai sebagai seorang ulama karena lebih tertarik dengan berdagang. Sebagaimana biasanya keadaan dalam surau, pekerjaan dengan cara berdagang sangatlah lumrah atau umum dilakukan.
"Assalamu'alaikum.., Ayah pulang..!," ucap sang ayah sembari membukakan pintu depan. Hal tersebut sontak membuat Saliha dan Hatta terkesiap karena terkejut akan kedatangan sang Ayah yang masuk tiba-tiba. Ditambah lagi, saat itu keduanya tengah fokus dengan kegiatan mereka masing-masing. Hatta yang terfokus dengan mainannya dan sang ibu yang sedang sibuk melipat pakaian sembari memandangi putranya. Djamil pergi memasuki kamar dengan girangnya. Entah tak sabar untuk membaringkan diri di atas kassur untuk melepas penat, atau ingin cepat-cepat pergi menemui Hatta putra kecilnya.
Djamil masuk ke kamar dimana Hatta berada. Menggendongnya girakmng sembari menciumi pipinya. Taklupa pula menghampiri sang istri. Membiarkan Saliha menyalami dan menyambut kedatangannya pulang dengan senyuman indah. Kehangatan tercipta oleh interaksi diantara mereka bertiga. Keluarga harmonis yang selalu terlihat bahagia pada setiap waktunya. Namun, hidup tetaplah hidup. Tidak ada kehidupan yang akan selalu bahagia. Mungkin memang itu yang diharapkan oleh Djamil dan sang istri, memiliki kehidupan indah hingga akhir hayat, tetapi tidak tahu rencana Sang Pencipta. Tak ingin menyia nyiakan kesempatan bersama, sang ayah mengajak Hatta bermain bersama. Mengajaknya berbicara seperti apa yang dilakukan sang ibu, meng ayun-ayun Hatta hingga ia tertawa lepas. Hingga akhirya, saat jam menunjukan pukul setengah sepuluh malam, Hatta tertidur. Sang ayah yang sedari tadi menimang si bayi mungil, kemudian pergi ke kamar untuk meletakkan Hatta diranjang tempat tidurnya. Meletakkan kepala mungil Hatta diatas bnatal empuk, dan membaringkan tubuh mungilnya diranjang dengan amat hati-hati. Setelah itu, ia duduk ditepi ranjang sembari menatap lekat sang anak. Tatapan penuh kasih seorang ayah pada sang putra. Ia mengetahui bahwa waktu tidak dapat diulang. Oleh karena itu, Djamil sangat menikmati setiap waktunya ia bersama anak-anaknya.
Waktu demi waktu pun berlalu. Banyak memori-memori kecil namun berharga yang tercipta di antara keluarga pasangan Djamil dan Saliha. Hatta yang semakin pandai merangkak, juga semakin banyak melakukan tingkah diusianya yang memasuki masa aktif. Menajalani hari seperti biasanya tanpa ada hal-hal luar biasa yang terjadi. Kehidupan mengalir bak air sungai, mengalir terus menerus mengikuti jalur. Sama halnya dengan keadaan mereka, kehidupan mengalir mengikuti alur takdir, baik itu menyenangkan ataupun menyedihkan.
Apa yang terjadi pasti telah menjadi rencana terbaik Allah kepada keluarga Djamil. Hingga pada akhirnya, takdir mengarahkan ia menuju takdir akhirnya dalam kehidupan, yaitu kematian. Takdir yang amat sangat menyedihkan memang, terutama bagi Saliha. Ditinggalkan oleh sosok kepala kaluarga hebat seperti Djamil bukanlah hal mudah. Usia Hatta yang masih dibilang amat sangat muda pada saat ditinggalkan oleh sang ayah. Saat itu, Hatta tengah berusia 7 bulan menuju 8 bulan. Usia yang sangat memilukan bagi Hatta ketika ditinggalkan oleh ayah kandungnya. Usia dimana seharusnya ia mendapatkan kasih sayang, tuntunan serta perlindungan dari sosok ayah. Namun, takdir adalah takdir. Takdir tidak dapat kita elak, melainkan harus kita hadapi. Mungkin sudah menjadi jalannya bagi Hatta untuk kehilangan sosok ayah kandung saat bayi, sehingga memang Hatta sudah ditakdirkan untuk tumbuh menjadi sosok yang kuat dan mandiri nantinya.