Zara dikenal sebagai sosok wanita yang serius dan terkesan judes. Teman-temannya sering mengatakan bahwa dia seperti gunung es, dingin seolah tidak memiliki hati dan perasaan. Namun, Zara terkadang juga bisa menjadi sosok yang sehangat matahari pagi. Saat itu senyum Zara selalu terukir di sudut bibirnya. Mereka tak ada yang tahu, di balik senyum yang terkadang terpancar di wajah Zara itu, menyimpan rahasia yang hanya ia bagi dengan dirinya sendiri dan beberapa orang terdekat: Zara adalah seorang penyintas bipolar.
Seperti roller coaster yang tak pernah berhenti begitulah Zara melukiskan tentang hidupnya. Di satu sisi, ada saat-saat ketika dia merasa seolah bisa menaklukkan seisi dunia. Ide-ide mengalir tanpa henti seperti air sungai yang deras, setiap langkah terasa ringan, seakan dia bisa terbang tinggi dan tidak ada yang bisa menghentikannya. Zara mampu bekerja sepanjang malam tanpa lelah, menyelesaikan segala tugas yang bahkan mustahil karena kesulitannya, dan masih tetap memiliki energi untuk bersenang-senang keesokan hari bersama teman-temannya.
Ada masa-masa ketika dia merasa dunia terasa begitu berat. Saat bangun tidur menjadi tantangan terbesar dalam hidupnya, dan hal-hal kecil yang dulu membahagiakan kini tidak lagi memunculkan minatnya. Di masa-masa itu, Zara merasa terjebak dalam lorong panjang gelap yang tak berujung, pikirannya pun dipenuhi dengan keraguan dan rasa takut. Saat-saat seperti inilah, senyuman Zara sering menghilang dan meninggalkan kesan keras, galak dan judes di mata orang-orang.
Pagi itu, Zara duduk dan menatap bayangannya di cermin ketika selesai menyapukan riasan tipis di wajahnya. Hari ini, dia harus menghadiri rapat penting di kantor.
"Kamu bisa melakukannya, Zara." Zara berbisik pada diri sendiri, mencoba menggali resah yang seolah membuat semangat dalam dirinya terkubur.
Dia kembali meraih parfum favoritnya, aroma buah peach selalu berhasil membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Namun, tangan Zara gemetar saat mencoba menyemprot parfum tersebut ke pergelangan tangannya. Buliran kristal bening mulai menetes dan membasahi pipi wanita ini.
"Kenapa aku tak bisa mengendalikan diri?" pikir Zara jengkel pada dirinya sendiri.
Padahal seminggu yang lalu, dia merasa berada di puncak dunia, menyelesaikan semua tugas-tugas yang menumpuk dengan cepat dan merasa penuh semangat. Namun sekarang, dia bahkan harus berusaha sekuat tenaga demi menggerakkan tangannya. Zara merasa dia mulai depresi, fase yang paling mengerikan untuk para penyintas bipolar seperti dia. Kali ini dia merasa perasaan putus asanya itu tidak bisa diabaikan.
Zara menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Ini bukan pertama kali dia merasakan fase depresi. Fase ini sudah menjadi bagian dari hidupnya sebagai penyintas bipolar. Dia sudah terbiasa dengan perubahan suasana hati yang tak terduga ini, namun itu tidak membuatnya menjadi lebih mudah.
Ingatan Zara kembali pada masa di mana ia pertama kali didiagnosis beberapa tahun yang lalu. Saat itu, dia merasa dunianya runtuh. Dia tidak menyangka jika seseorang yang tampak begitu 'normal' seperti dirinya, ternyata memiliki gangguan yang begitu serius?
Seiring waktu berlalu, Zara belajar bahwa menerima keadaan yang ia alami adalah langkah pertama menuju pemulihan. Sayangnya, hanya segelintir orang yang mau mengerti dan membantu Zara. Dia pun mandiri belajar tentang perubahan mood-nya dibantu dengan terapis yang menanganinya.