Lihat ke Halaman Asli

Apa Kabar Program Pemberantasan Buta Huruf?

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

BEBERAPA hari yang lalu, tepatnya minggu (5/9), Presiden Timor Leste Ramos Horta mengumumkan distrik Oecussi sebagai kabupaten pertama yang bebas buta huruf di negaranya, republik muda yang baru berusia 8 tahun. Bandingkan dengan Indonesia, negara republik yang sudah berusia 65 tahun, masih memiliki penduduk buta huruf sekitar 9,7 juta atau 5,97 persen. Padahal, paska revolusi agustus 1945, republik ini punya gebrakan sangat bagus dalam memberantas buta-huruf. Seperti dicatat oleh Molly Bondan dalam bukunya “In Love with a Nation”, ketika Jepang menduduki Indonesia tahun 1942, jumlah penduduk melek huruf masih kurang dari 7%, tetapi menjelang tahun 1967, boleh dikatakan bahwa orang-orang yang berumur di bawah 45 tahun (di atas umur sekolah) sudah bisa membaca dan menulis. Data lain memperlihatkan bagaimana dashyatnya usaha pemerintah saat itu untuk mencerdaskan bangsa. Pada tahun 1950, republik baru ini hanya memiliki 10% orang yang bisa baca tulis dan hanya 230 orang yang berpendidikan setingkat SMU ke atas. Namun, dalam sepuluh tahun saja, pemerintahan Soekarno bisa mengubah orang yang bisa baca-tulis menjadi 80% dan sekolah-sekolah sudah bisa ditemukan di setiap desa. Pada saat itu, pemerintah mencanangkan program yang disebut “Pemberantasan Butah Huruf (PBH) atau kursus ABC, yang ditangani langsung oleh pemerintah melalui bagian pendidikan masyarakat. Bung Karno memobilisasi seluruh kekuatan nasional, termasuk organisasi-organisasi massa, untuk terlibat dan mensukseskan program PBH ini. Hampir seluruh organisasi massa, terutama yang mendukung politik Bung Karno, seperti PKI, Gerwani, PGRI non-vaksentral dan sebagainya, sangat aktif menjalankan PBH di tingkatan massa rakyat. Selanjutnya, pada tahun 1960, Bung Karno mengeluarkan komando untuk menuntaskan buta huruf sampai tahun 1964. “Dapatkah sosialisme diselenggarakan oleh bangsa buta huruf? Saya komandokan sekarang, supaya buta-huruf itu habis sama sekali pada akhir tahun 1964,” demikian bunyi komando Bung Karno saat itu. Sayang sekali, proyek besar Bung Karno turut terinterupsi, setelah militer dan sayap kanan lainnya berkolaborasi melakukan kudeta merangkak. Hampir seluruh program yang dicanangkan oleh Bung Karno pada masanya, telah dibatalkan secara sepihak oleh rejim Soeharto, termasuk PBH ini. Lantas, pada tahun 1970 yang bertepatan dengan periode booming minyak, Soeharto mulai merancang Kejar Paket A, yaitu program pemberantasan buta huruf dengan menggunakan bahan ajar buku Paket A yang terdiri atas Paket A1-A100. Kenyataan Sekarang Ini Meskipun Timor Leste baru saja merdeka, masih terlalu mudah sebagai negara, tetapi mereka telah berhasil meletakkan dasar yang kuat di bidang pendidikan, termasuk pemberantasan buta huruf. Kesemuanya itu dimotivasi oleh semangat dan keseriusan pemerintahnya, yang telah memobilisasi seluruh potensi dan menggalang kerjasama dengan semua pihak yang bersedia membantu, terutama sekali, Kuba. Sementara pemerintah Indonesia, yang ditangannya terletak sumber daya dan kebijakan, malah membiarkan pendidikan berjalan di tempat, bahkan mengalami banyak sekali kemunduran. Walaupun pemerintah pernah mengeluarkan Instruksi Presiden No 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar, Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara, namun “bunyi” gerakan pemberantasan buta-huruf semakin tidak terdengar. Pertama, jumlah buta-huruf di Indonesia masih relatif tinggi, yaitu 9,7 juta orang, dan angka ini terlihat tidak berubah dari tahun ke tahun. Tidak ada langkah atau tindakan pemerintah secara konkret untuk menggunakan seluruh potensi nasional untuk memberantas buta-huruf ini. Kedua, angka putus sekolah terus meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah anak putus sekolah SD setiap tahun rata-rata berjumlah 600.000 hingga 700.000 siswa. Sementara itu, jumlah mereka yang tidak menyelesaikan sekolahnya di SMP sekitar 150.000 sampai 200.000 orang. Ketiga, dunia pendidikan Indonesia sedang dicengkeram oleh mekanisme pasar, atau sering disebut “neoliberalisme”, dimana negara tidak lagi punya “kewajiban” memastikan seluruh anak dan pemuda di Indonesia bisa menikmati pendidikan. Apa mau dikata, sejak sistim pendidikan nasional tenggelam dalam arus neoliberalisme, maka harapan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa pun menjadi terhenti. Setiap bangku sekolah telah dihargai dengan uang, sementara uang masuk pun sudah dipatok sangat tinggi. Pejabat yang ditunjuk sebagai menteri pendidikan, lebih senang menghabiskan ber-milyar-milyar rupiah hanya untuk memasang photonya di baliho (billboard) di sepanjang jalan atau iklan-iklan di media massa, ketimbang mempergunakannya untuk membangun gedung sekolah. Dari segi anggaran pun, pemerintah lebih senang menghamburkan anggaran untuk membangun gedung mewah, membeli mobil mewah untuk dinas pejabat, membayar utang luar negeri, dan lain sebagainya. Sementara, untuk membiayai pendidikan anak-anak dan pemuda-pemudi Indonesia, pemerintah sangat “pelit”. Padahal, kita bukan hanya berkeinginan memberantas buta huruf dan mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi sekedar menjadikan hal tadi sebagai modal dasar untuk membangun bangsa ke depan. Oleh karenanya, melalui peringatan Hari Aksara Internasional hari ini, kita menuntut tanggung-jawab pemerintah untuk membenahi dunia pendidikan, mendorong program pemberantasan buta-huruf, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. (Rudi Hartono)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline