Lihat ke Halaman Asli

Keterpurukan Bangsa (Kita)

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_122818" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi "Indonesia Menangis", diambil dari blog Dinda27 di http://dinda27.wordpress.com/2009/10/01/"][/caption] Setiap tahun punya makna dan arti penting bagi perjalanan sebuah bangsa, khususnya dalam menentukan tahap-tahap perkembangan untuk mencapai tujuan. Dari situ, nantinya, kita akan melakukan penilaian, apakah maju atau mundur, dan menentukan apakah diperlukan koreksi atau mempercepat laju kita. Namun, ada pula bangsa yang bernasib pilu. Bangsa yang punya mata dan hati, tetapi sengaja tidak difungsikan karena lebih percaya instruksi dari luar dirinya, sehingga dia jatuh dalam “lubang keterpurukan”. Padahal, sejarah bangsa ini begitu mengagumkan bukan saja di kalangan rakyatnya, namun juga bagi bangsa-bangsa lain di dunia. Bangsa ini pernah diperhitungkan di lautan, sebuah simbol dari kekuatan di masa lampau, dan berlayar hingga Afrika. Bangsa ini pernah memperlihatkan kekuatannya saat mengusir penjajahan dengan kekuatannya sendiri. Bangsa ini pernah dikenal kepalanya tegak berhadapan dengan kolonialisme dan imperialisme, bahkan memimpin negara Asia dan Afrika untuk menghapuskan segala bentuk penjajahan. Semua itu, kini, telah ditutupi oleh debu “pelupaan” terhadap sejarah, dan bangsa ini kembali menjadi bangsa kuli di antara bangsa-bangsa, –kembali menjadi “een natie van koelis, en een koeli onder de naties.” Tahun 2010, dalam kalender China disebut tahun macan, menjadikan kita seolah-olah menuruni tangga curam dalam perjalanan bangsa kita, padahal seharusnya menaik. Jika tahun sebelumnya kita menyaksikan keterpurukan bidang lain seperti ekonomi, politik, dan budaya, maka tahun ini kita menyaksikan keterpurukan hukum. Ini terjadi begitu menggelikan, seorang wakil presiden yang dituding terlibat korupsi tetap dilantik, sedangkan kasus bank century kini menghilang dari peredaran (hukum dan politik) tanpa menyisakan seorang tersangka pun. Sebelumnya, mantan gubernur BI Burhanuddin Abdullah harus mendekam dalam penjara, hanya karena turut menanggung keputusan gubernur BI sebelumnya. Sekarang ini, seorang mantan gubernur BI yang bertanggung jawab lansung terhadap kesalahan bailout Bank Century, tidak tersentuh sedikit pun oleh proses hukum. Benar apa yang dikatakan Teguh Esha, penulis novel Ali Topan Anak Jalanan, “susah benar untuk membuktikan maling di negeri ini.” Belum berselang lama, institusi penegak hukum kembali digegerkan oleh nyanyian Susno Duaji, bahwa ada banyak markus dalam institusi Polri. Alhasil, markus pertama yang terbongkar adalah Gayus Tambunan, seorang pegawai pajak golongan III A, yang memiliki simpanan 25 milyar. Nyanyian Susno makin nyaring, sejumlah markus pun akhirnya terungkap di hadapan rakyat. Tapi, yakin saja, itu hanya sebagian kecil. Kehancuran hukum tentu sangat membahayakan. Sebab, bagaimana sebuah rejim atau apparatus kekuasaan bisa menjalankan administrasinya, kalau tidak bisa menegakkan ketertiban dan konsensus. Kalaupun sanggup, rejim tersebut akan dikendalikan oleh para “penjahat” di belakang layar. Korupsi seolah sudah menjadi panorama permanen dalam langskap politik negeri ini, dan setiap rejim yang silih berganti, hanya memilih berkompromi atau malah akan ikut menjadi bagian dari persekutuan koruptor. Maka, tidak salah analogi yang mengatakan, kalau anda bertemu tiga pejabat Indonesia, maka dua orang adalah koruptor. Sebaliknya, di balik puncak korupsi ini, menghampar luas ratusan juta rakyat di lembah kemiskinan, dan nyaris tanpa perlindungan ataupun perhatian negara. Kalau saja kita menggunakan metode penghitungan statistik milik AS tahun 1963 (pendapatan Rp.29.735, asupan kalori 2471 kal), atau standar Bank Dunia (2 USD), maka angka kemiskinan nasional bisa melambung tinggi. Kesulitan ekonomi, terutama akibat de-industrialisasi dan hancurnya sektor produktif di dalam negeri, memaksa sebagian besar rakyat kita beralih pada sektor informal. Ini meliputi keseluruhan sektor perdagangan mikro (asongan, PKL, calo, dll), Industri pengolahan mikro (industri rumah tangga, kerajinan, dan lain-lain), dan pertanian mikro (petani menengah, miskin, dan gurem). Namun, meskipun mereka sudah tergusur dari sektor produktif, tetapi capital besar masih terus berusaha melindas mereka. Itu yang terjadi pada penggusuran terhadap tukang bakso, pedagang kaki lima, penjual gorengan, warung makan, dsb. Bukan itu saja, rumah-rumah kaum miskin inipun, banyak dibuldozer atas nama Pemda, namun di belakangnya adalah pengusaha besar. Lebih parah lagi, situasi ini berhasil diubah oleh persekutuan jahat penguasa-pengusaha, dengan merekrut penganggur dan orang-orang miskin ini ke dalam barisan barisan tukang pukul yang dipersenjatai—Satpol PP. Mereka, para orang miskin yang menjadi satpol PP, ternyata dapat diandalkan untuk menghajar sesama orang miskin, bahkan lebih beringas ketimbang apparatus kekerasan lainnya seperti polisi dan tentara. Lihat saja, misalnya, saat mereka melakukan operasi penangkapan pengamen, pengemis, pelacur, ataupun saat menggelar penggusuran, Satpol PP bisa berlaku beringas seperti KNIL menindas rakyat Indonesia sendiri. Ini memang mengherankan, Satpol PP yang biasanya direkrut dari keluarga miskin, bisa kehilangan ikatan psikologisnya dengan sesame orang miskin dan bertindak mewakili kepentingan modal. Kejadian di Koja, Jakarta Utara, menjadi puncak dari kebiadaban Satpol PP, orang-orang miskin yang mengingkari asal usul klasnya, sekaligus memicu lahirnya kemarahan publik dan menuntut pembubaran organisasi semi-militer ini. Akan tetapi, kedua persoalan di atas—korupsi dan Satpol PP, tidak bisa dinobatkan sebagai penyebab utama, tetapi keduanya hanya bagian dari proses penghancuran ini. Korupsi, bagaimanapun, tidak mungkin menjadi penyebab utama dan tunggal dari persoalan kehancuran ekonomi nasional, seperti keyakinan para ekonom neoliberal. Penyebab utama dan bersifat struktural dari kehancuran ekonomi nasional adalah neoliberalisme. Korupsi memang perlu diberantas, dan kita tak boleh mengenal kompromi untuk kasus ini, namun perlu diingat bahwa persoalan terbesarnya adalah neoliberalisme, sebuah sistem menawarkan kemakmuran bagi segelintir orang di dunia, tetapi menciptakan kemiskinan dan kesengsaraan di berbagai belahan dunia; merampas kedaulatan politik kita, merampas sumber daya alam kita, mengeksploitasi tenaga kerja kita sebegitu murahnya, merusak pasar-pasar tradisional dan domestik kita, menjarah kekayaan dan layanan publik (kesehatan dan pendidikan), menghancurkan solidaritas dan kekeluargaan kita, dsb. Demikian pula dengan kasus Satpol PP, bahwa Satpol PP ini juga bukan penyebab utama dan tunggal dari persoalan kekerasan, melainkan kemiskinan-lah yang menjadi faktor utamanya.. Lagi-lagi, neoliberalisme punya andil dalam menaikkan jumlah orang miskin dan pengangguran di Indonesia. Kehancuran sektor formal, dalam hal ini sektor industri, lebih banyak disebabkan oleh liberalisasi ekonomi dan perdagangan dalam sepuluh tahun terakhir. Merdeka-tidaknya suatu negeri, kata Bung Karno, selain bisa dilihat dari struktur ekonomi, dari politik dalam dan luar negerinya, dan sebagainya, juga bisa dilihat dari kualitas penguasanya. Menurut Bung Karno, negeri-negeri yang diperintah oleh komprador-komprador imperialis tidak mungkin menjadi negeri merdeka. Maka, pesan saya, gantilah pemerintah-pemerintah yang komprador asing itu. (Rudi Hartono)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline