Lihat ke Halaman Asli

Dimanakah Tinjumu?

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_88251" align="alignleft" width="106" caption="Ilustrasi "karikatur petinju". (sumber: http://esl.about.com/)"][/caption] Judul di atas diambil dari salah satu judul karangan Bung Karno di buku “Di Bawah Bendera Revolusi”. Bedanya, saya sedang tidak berbicara mengenai program emigrasi, melainkan soal potensi krisis politik dan gerakan rakyat.

Pada tanggal 3 Maret 2010, sesuai dengan hasil rekomendasi Pansus hak angket, rapat paripurna DPR secara mayoritas telah memilih opsi C, bahwa pencairan dana bailout kepada bank century dinilai bermasalah dan harus ada proses hukum terhadap pengambil kebijakannya. Meskipun ini adalah keputusan politik dari sebuah lembaga tinggi Negara---DPR, tetapi presiden SBY terlihat hendak mengabaikannya.

Saat menyampaikan pidato tanggapan pada 4 Meret lalu, presiden SBY sangat berposisi membela keputusan para pengambil kebijakan bailout, khususnya Budiono dan Sri Mulyani. Dengan menyampaikan pidato pembelaan itu, SBY telah menyiramkan air dingin pada gejolak api skandal bank century. Setelah dibela presiden, Budiono dan Sri Mulyani pun memberikan pidato pembelaan diri, dan kembali menegaskan kebenaran mutlak atas kebijakannya.

Seperti telah saya tuliskan di artikel sebelumnya, bahwa Negara di bawah administrasi SBY-Budiono mengalami krisis politik, bahwa telah terjadi perpecahan di dalam institusi Negara dan aparatusnya. Keputusan politik di parlemen, seperti telah dinyatakan Sri Mulyani, bukan kebenaran yang esensial.

Berbicara soal sistim politik, mengutip Andrés Pérez Baltodano, kita selalu berhadapan dengan dua hal; pertama, sebuah proses politik formal yang didesain dan dikendalikan oleh grup atau kelompok elit berkuasa. Kedua, sebuah konsensus sosial diantara rakyat, negara, dan pasar melalui proses-proses yang terus berkembang.

Yang terpenting, mengikuti penjelasan di atas, bahwa bentuk demokrasi jenis apapun akan selalu membutuhkan konsensus, termasuk demokrasi liberal. Dalam prakteknya, konsensus sosial dapat tercapai apabila kelas dominant sanggup mengintegrasikan kepentingan-kepentingan masyarakat dan berbagai sektor yang berbeda.Untuk melapangkan jalan mencapai konsensus ini, keberadaan partai politik telah memainkan peranan yang sangat penting, yaitu sebagai pencipta simpul-simpul konsensus di kalangan massa rakyat.

Selain partai politik, keberadaan media massa dan sarana-sarana apparatus ideologis lainnya seperti sekolah, lembaga agama, norma sosial, dsb, juga punya arti penting dalam meraih konsensus sosial secara luas. Media menjadi semacam “pabrik konsensus”, dimana berbagai kepentingan politis, ekonomis, dan ideolgis kelas dominan coba dipaksakan diterima secara sukarela oleh kelas-terhisap (mayoritas). Media massa di tangan segelintir elit, kata semiologist Buen Fernando, akan menjadi pasukan ideologi dari klas berkuasa, bersenjatakan fitnah, kebohongan, dan manipulasi informasi.

Nah, sekarang ini partai politik sudah dinegasikan, bahwa koalisi partai politik penyokong pemerintah sudah berantakan. Artinya, salah satu saluran untuk menjalin konsensus, yaitu partai politik, sudah ditutup krannya sendiri oleh SBY. Tinggal media massa dan saluran –saluran politik pencitraan lainnya.

Tatkala konsensus sudah mulai berantakan, maka legitimasi pun akan menipis. Dan, pada ujungnya, perimbangan kekuatan pun akan berubah drastis. Ketika perimbangan kekuatan mulai bergeser ke posisi oposisi, maka pada titik ini krisis politik sudah tak terhindarkan.

Akan tetapi, tidak berarti proses politik di parlemen akan secara simultan akan melahirkan transformasi sosial secara radikal, seperti yang diharapkan oleh rakyat. Proses politik di parlemen hanya mencerminkan friksi kepentingan segelintir elit, dan penyelesaiannya pun hanya membutuhkan sebuah konsesi atau transaksi politik baru.

Setiap perubahan atau transformasi sosial yang radikal, cukup konsisten, selalu membutuhkan sebuah pergerakan rakyat yang hebat dan penuh kuasa, demikian dikatakan Bung Karno. Pergerakan rakyat atau machtvorming adalah tinju yang hebat untuk menghancurkan segala penghalang kemajuan dan cita-cita rakyat.

Inilah kegelisahan saya, bahwa pergerakan rakyat belum menempati posisi semestinya sebagai motor penggerak dari krisis politik ini. Gerakan rakyat masih tercerai berai, belum mengumpul menjadi sebuah kekuatan politik. Karena itu, untuk memperlihatkan tinju yang kuat, gerakan rakyat harus merangkai sebuah proyek politik yang melampaui sekedar isu penyatuan kiri atau semacamnya, tetapi sebuah persatuan nasional atau blok politik anti-neoliberal. Hal ini, menurut saya, merupakan potensi kedepan yang harus dimanfaatkan dan diperbesar untuk merubah perimbangan kekuatan; mengisolasi musuh pokok (neoliberal), merangkul sekutu potensial (nasionalis/anti-neolib), dan menetralisir elemen-elemen peragu.

Dengan begitu, baru kita bisa mengatakan: mana tinjumu?

*) Rudi Hartono adalah peneliti Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), peminpin redaksi Berdikari Online, dan pengelola Jurnal Arah-kiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline