Ditulis oleh Gatot Prio Utomo dan Wahyu Andrianto (Center for Digital Blue & Green Economy)
Terdapat hal menarik yang disampaikan Calon Presiden (Capres) Ganjar Pranowo dalam Debat Capres tanggal 7 Januari 2024 lalu. Pertama, Ganjar menjadikan Matra Laut sebagai prioritas pengembangan sistem pertahanan, disusul dengan pertahanan udara. Kedua, pemanfaatan teknologi tinggi sistem pertahanan, antara lain rudal hipersonik, senjata autonomous dan penguatan pertahanan siber menjadi perhatian khusus.
Hal ini dapat difahami karena sebagai negara kepulauan Indonesia menghadapi ancaman dari laut dan udara yang lebih besar dibanding serangan melalui darat. Keseluruhan strategi tersebut terangkum dalam terminologi teknologi Sakti dan sistem pertahanan 5.0, sebagai analogi perkembangan revolusi industri yang sudah memasuki gelombang ke 5 yang ditandai dengan peran dan pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) yang semakin dominan.
Dalam artikel kami sebelumnya bertajuk "Hulunisasi Industri Digital untuk Menjaga Kedaulatan" (artikel selengkapnya bisa dilihat dalam tautan ini), kami menekankan pentingnya penguasaan teknologi luar angkasa dalam hal ini teknologi satelit dan reusable rocket untuk peluncuran satelit.
Teknologi ini dibutuhkan agar 100% wilayah kedaulatan negara kita termasuk wilayah laut dapat terkoneksi dengan Internet berkecepatan tinggi. Sistem Pertahanan 5.0 akan sulit terlaksana apabila tidak tersedia infrastruktur Internet berkecepatan tinggi terutama di wilayah laut.
Seluruh sistem pertahanan berteknologi maju seperti senjata autonomous, drone, kapal dengan berbagai sensor IoT, serta sistem navigasi berpresisi tinggi akan sangat tergantung pada infrastruktur digital yang mumpuni.
Sesuai rencana, pada tahun 2024 ini Indonesia akan memiiki total satelit yang beroperasi sebanyak 12 buah dengan kapasitas sebesar 319 Gbps, bertambah 142 Gbps dari tahun sebelumnya sebesar 177 Gbps. Sebagian besar satelit Indonesia tersebut berupa satelit Geostationer (GSO) dengan frekuensi C & Ku-bands dengan sistem klasik single beam.
Dengan satelit sebanyak itu, hampir seluruh wilayah Indonesia dapat dicakup namun sulit menyediakan Internet dengan kecepatan tinggi. Teknologi klasik ini masih membutuhkan berbagai perangkat yang kompleks, termasuk perangkat backhaul untuk menangkap dan mendistribusikan jaringan komunikasi data di permukaan bumi.
Trend saat ini, dunia tengah berlomba-lomba menguasai teknologi satellite direct-to-device (D2D) dengan menggunakan Very High Throughput Satellite (VHTS).
Starlink, anak perusahaan Space X milik Elon Musk merupakan pionir yang mendominasi industri ini. Starlink juga akan segera memiliki teknologi satelit D2D yang dapat meliputi hampir seluruh penjuru bumi. Bahkan pemerintah Amerika Serikat berencana menjalankan program Star-shield yang berbasis layanan Starlink. Program Starshield ini dipastikan akan merubah peta geo dan astro politik dunia. Oleh karena itu perlu antisipasi strategis dari pemerintah Indonesia.