Lihat ke Halaman Asli

Rezza B. Prasetyo

buruh seni dan buruh hidup

Kisah Miris di Balik Punahnya Alka Besar

Diperbarui: 3 Mei 2022   07:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lukisan Jhon James Audobon (sumber: bobo.grid.id)

Di jaman sekarang kalau sedang cari makanan entah itu saat istirahat atau misal lagi di mall pasti banyak sekali menu yang tidak terlepas bahannya dari ayam. Mulai telur sampai dagingnya. Bahkan bulu-bulunya juga bisa dimanfaatkan sebagai kerajinan. Saya jadi membayangkan berapa juta ayam sih yang dipotong tiap hari? Saya kadang merasa ayam adalah salah satu hewan yang hampir mustahil lenyap dari muka bumi, meski dikonsumsi berjuta ekor tiap hari.

Dilansir dari buku World Atlas of Biodiversity, populasi ayam ternakan bisa mencapai angka 18,6 miliar ekor. Jumlah tersebut tentu saja membuat ayam menjadi salah satu hewan dengan populasi paling banyak di dunia. Bahkan mengalahkan populasi Homo Sapiens sendiri yang hanya ada 7 miliar saja.

Keberhasilan eksistensi ayam hingga saat ini tentu saja tak terlepas dari adanya revolusi pertanian.  Pada masa itu, manusia mulai berhenti dari budaya nomaden dan meninggalkan jati diri sebagai pemburu-pengumpul. Manusia mulai memilih jadi petani dan peternak. Meski, keberhasilan domestikasi hewan membuat ayam dan hewan ternak lainnya bertahan dari ancaman kepunahan, tapi tidak menjamin kesejahteraan hidup mereka. 

Toh ternyata, banyak hewan ternak yang hidup tersiksa di peternakan. Tidur dalam kandang sempit dan bercampur dengan kotoran. Namun, kali ini yang ingin saya bahas  bukanlah hal tersebut. Justru saya ingin membahas tentang kepunahan, bukan tentang kelestarian hewan.

Saya ingin menceritakan kepada anda tentang Alka Besar, mari kita berkenalan dengan penguin yang asli ini. Alka besar (Pinguinus impennis) atau dikenal juga dengan nama Great Oak tersebar di daerah dingin Norwegia sampai Newfoundland dan Italia sampai Florida. 

Alka besar terakhir yang diketahui terbunuh pada tahun 1821 entah di bagian mana Islandia tepatnya, tak ada yang tahu. Namun bangkainya dibeli oleh seorang bangsawan Denmark bernama Christian Raben, untuk menjadi koleksi pribadinya hingga akhirnya pada tahun 1971 ia lelang di London.

Sebuah museum di Reykjavik, Islandia menampilkan reka ulang ketika manusia pertama kali bertemu  unggas lucu tersebut. Di video terlihat adegan seorang manusia berjalan mengendap-endap di sebuah pantai mendekati alka besar. Lalu kemudia dengan sebuah tongkat, manusia tersebut mementung kepala burung tersebut. Alka besar tersebut tentu saja berlari sambil berteriak-teriak kesakitan dengan suara macam terompet. Apa daya ia perenang handal, bukan pelari.

Diyakini peristiwa itu terjadi di abad pertengahan ketika manusia Eropa sedang mengejar ikan kod hingga ke Newfoundland. Di sana, mereka menemukan sebuah batu granit seluas dua puluh hektar. Diatas batu itu penuh dengan burungsebesar soang berdiri berdempetan yang tidak lain adalah alka besar.  Bahkan pada 1534 dalam laporan penjelajah Prancis, Jacques Cartier menjelaskan bahwa saat itu alka besar diburu begitu hebat. Dalam waktu tidak sampai setengah jam, mereka memenuhi dua perahu dengan burung-burung itu seolah batu pemberat.

Saat itulah kabar bahwa daging gemuk alka besar begitu lezat meluas. Lalu alka besar terus diburu dan diangkut penuh di atas kapal-kapal sebagai sarana menghidupi perut manusia seolah Tuhan menjadikan sifat polos mahluk malang itu adalah kemudahan bagi manusia untuk memburunya.

Bertahun-tahun kemudian, dengan otak pintar nan licik manusia, alka besar dimanfaatkan tidak hanya untuk makan melainkan banyak hal.  Alka besar dijadikan umpan ikan, bulu-bulunya dimanfaatkan sebagai isian kasur, sampai bahan bakar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline