Lihat ke Halaman Asli

Rendy Ramadhani

Tukang Rongsok, Markom,Retroisme

Karantina kesehatan di DKI

Diperbarui: 16 April 2020   17:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sebuah tinjauan yuridis terhadap peran negara terhadap pemenuhan kebutuhan saat pemberlakuan PSBB

           

   

Jakarta akhirnya kena "lockdown", begitu kata sebagian masyarakat DKI pada saat, Pak Anis, Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 33 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar di wilayah DKI Jakarta (PSPB) tanggal 10 April 2020. Kata "lockdown" menjadi istilah popular jaman pandemic CoronaVirus Disease tahun 2019 (disebut (Covid -- 19), terasa tidak asing lagi di kuping, sejak virus corona mengamuk, seperti topan badai menyerang, dari semuladi pertengahan februari 2020 hanya 2 orang di Depok, menjadi lebih dari 4000 orang di minggu kedua bulan April ini, separuhnya merupakan penduduk DKI Jakarta, dengan angka kematian lebih dari 320 orang.

Sebelum dikeluarkannya Pergub Noor 33 tahun 2018, sebenarnya penduduk DKI , sejak pertengahan bulan Maret 2020,  sudah merasakan suasana "lockdown", karena adanya himbauan Pemerintah DKI yang meminta untuk membatasi aktifitas di rumah. Penduduk DKI diminta untuk  tinggal dirumah, beraktifitas dirumah, baik untuk, belajar,  sekolah on line, bekerja, dan hanya untuk keperluan-keperluan tertentu saja. Hampir setiap saat, pemerintah menghimbau, stay at home, akibat angka penularan terus meningkat dengan drastic. Dimana-mana tagar #dirumahsaja , Jika keluar berlaku ketentuan "social distancing". Berbagai aplikasi online digunakan berikut konten dibuat untuk memenuhi kegiatan Work From Home (WFH) dan Study From Home (STF)

psbb2-5e98168fd541df720e012d73.jpg

Jakarta akhirnya kena "lockdown", begitu kata sebagian masyarakat DKI pada saat, Pak Anis, Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 33 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar di wilayah DKI Jakarta (PSPB) tanggal 10 April 2020. Kata "lockdown" menjadi istilah popular jaman pandemic CoronaVirus Disease tahun 2019 (disebut (Covid -- 19), terasa tidak asing lagi di kuping, sejak virus corona mengamuk, seperti topan badai menyerang, dari semuladi pertengahan februari 2020 hanya 2 orang di Depok, menjadi lebih dari 4000 orang di minggu kedua bulan April ini, separuhnya merupakan penduduk DKI Jakarta, dengan angka kematian lebih dari 320 orang.

Sebelum dikeluarkannya Pergub Noor 33 tahun 2018, sebenarnya penduduk DKI , sejak pertengahan bulan Maret 2020,  sudah merasakan suasana "lockdown", karena adanya himbauan Pemerintah DKI yang meminta untuk membatasi aktifitas di rumah. Penduduk DKI diminta untuk  tinggal dirumah, beraktifitas dirumah, baik untuk, belajar,  sekolah on line, bekerja, dan hanya untuk keperluan-keperluan tertentu saja. Hampir setiap saat, pemerintah menghimbau, stay at home, akibat angka penularan terus meningkat dengan drastic. Dimana-mana tagar #dirumahsaja , Jika keluar berlaku ketentuan "social distancing". Berbagai aplikasi online digunakan berikut konten dibuat untuk memenuhi kegiatan Work From Home (WFH) dan Study From Home (STF)

Lalu apa sesungguhnya pemaknaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), baik dari aspek normatif, maupun implementatif ? Seorang dokter wanita, dr. Tifauzia Tyasumma, sejak awal meminta pemerintah untuk lockdown teritori, alias karantina wilayah, sebab dengan menutup seluruh akses ke suatu wilayah yang terpapar, berarti menutup akses penyebaran virus, dan Pemerintah fokus untuk menyembuhkan yang sakit di wilayah itu. Akan tetapi, pilihan Pemerintah bukan Karantina Wilayah, tetapi PSBB sebagai bentuk karantina kesehatan.Pemerintah Pusat, dalam hal ini Menteri Kesehatan menyetujui diberlakukannya Karantina Kesehatan dengan pola PSBB, bukan karantina wilayah, berdasarkan Keputusan Menteri Nomor HK.01.07/MENKES/239/2020 tentang Penetapan PSBB di DKI Jakarta Dalam Rangka Percepatan Penanggulangan COVID 19.

psbb3-5e9816a9d541df6f1e68d2f3.jpg

Sebagian besar ahli kemudian mengusulkan solusi yang konon paling tepat yaitu lockdown teritori,  bukan PSBB, dengan cara membandingkan dan memberi referensi tindakan di berbagai negara lain tentang lockdown, padahal di berbagai negara tersebut juga arti "lockdown" memiliki variasi bentuk, serta makna masing-masing. Menyetop penyebaran virus corona, yang konon belum ada obatnya hingga saat ini, adalah dengan cara menyetop pergerakan manusia selaku pembawa virus, dan itu artinya dihentikan semua aktifitas masyarakat, sehingga tidak saling berjumpa.

Sebagai suatu perbandingan, kita melihat ada contoh beberapa model "lockdown" berupa karantina wilayah, seperti antara lain : di Cina, Pemerintah Cina telah melakukan lockdown untuk Wuhan sejak 23 Januari 2020 lalu. Lockdown ini meliputi penghentian semua modatransportasi umum baik di darat maupun yang menggunakan kapal. Penduduk Wuhan juga dilarang melakukan perjalanan ke luar kota, namun masih boleh beraktivitas di dalam kota. Sekolah dan perusahaan pun sempat ditutup hingga 10 Maret 2020 lalu.

Berbeda dengan model Wuhan yang hanya memberlakukan karantina wilayah kota, model Italia memberlakukan lebih luas lagi.Italia memberlakukan karantina wilayah atau lockdown secara nasional pada 9 Maret. Sekitar 60 juta penduduknya diperintahkan untuk tinggal di dalam rumah. Sekolah, universitas, dan semua bisnis non-esensial diliburkan atau ditutup sementara. Hanya supermarket, bank, apotek, dan kantor pos diizinkan tetap beroperasi. Perjalanan di dalam negeri telah dilarang kecuali dengan alasan kesehatan atau masalah mendesak lainnya.Warga Italia hanya diizinkan meninggalkan rumah dalam keadaan tertentu, seperti untuk berolahraga sendirian di dekat rumah, belanja bahan makanan atau pergi ke dokter. Mereka diharuskan mencetak sejenis sertifikat di rumah yang memuat alasan mereka meninggalkan rumah. Sertifikat ini akan diperiksa oleh kepolisian.Warga yang melanggar aturan karantina ini akan dijatuhi denda uang antara $ 430 hingga $ 3.227 (Rp 7 juta hingga Rp 52 juta), atau bisa dikenai hukuman penjara hingga tiga bulan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline