Rasanya tak adil jika kita selalu membahas kesejahteraan tanpa mengikutsertakan pendidikan. Pendidikan merupakan unsur yang sangat penting berkontribusi secara langsung dengan pembangunan ekonomi. Ekonomi sebuah negara akan benar-benar maju ketika kebutuhan rakyatnya juga terpenuhi seperti pendidikan, kesehatan, dan standar hidup yang layak. Oleh karena itu kita mengenal IPM (Indeks Pembangunan Manusia) di Indonesia, serta SDGs (Sustainable Development Goals) di kelas dunia.
Pendidikan seolah-olah menghilangkan kesempatan kita untuk bekerja lebih dini, mendapatkan pundi-pundi rupiah semuda mungkin. Namun, di lain sisi pendidikan juga salah satu pengorbanan yang harus kita tempuh agar kualitas diri lebih baik yang akhirnya akan berdampak mendapatkan penghasilan lebih tinggi dari orang yang tidak mengenyam pendidikan.
Membahas tentang pendidikan, saya rasa sangat luas sekali karena tidaklah cukup jika kita melihatnya dengan sekolah formal. Pendidikan dapat terjadi kapan pun dan di mana pun. Maka dari itu BPS dalam mencetak statistik pendidikan tidak melulu melihat Rata-rata Lama Sekolah, Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Kasar (APK), dan Angka Partisipasi Murni (APM).
Beberapa waktu lalu sempat dihebohkan dengan beberapa ujian mandiri beberapa universitas negeri yang berbasis daring. Hal ini sontak menimbulkan berbagai kekhawatiran kecurangan salah satunya adalah menguntungkan pihak yang mengikuti program bimbel. Bisa saja mungkin peserta ujian dibantu program bimbel (tentor) dalam mengerjakan ujian.
Yaps, selain sekolah yang pada umumnya 12 tahun kita jalani, kita juga mengenal tambahan di luar sekolah entah itu bimbingan belajar, les-lesan, atau privat. Bisnis ini merajalela seiring bertambahnya kompleksitas kurikulum nasional kita saat ini. Tentu ini tak dapat disalahkan dan diilegalkan karena bimbel adalah salah satu penggerak roda perekonomian layaknya tukang cukur jalanan.
Dalam tulisan ini, saya akan bercerita pengalaman saya dalam 12 tahun sekolah negeri menghadapi arus ini sekaligus sedikit tips bagi yang tidak berkesempatan mengikuti program les-lesan. Kalau saya urutkan menurut persepsi orang tua di Indonesia, urut-urutan kriteria pendidikan terbaik (berturut-turut dari yang terbaik) adalah sebagai berikut : bersekolah di sekolah negeri (atau sekolah swasta unggulan), bersekolah di kota, mengambil jurusan MIPA (jika SMA), mengikuti program bimbel. Pun jika semua itu tidak terpenuhi tidak apa, kamu perlu bersyukur jika dilahirkan dan disekolahkan di pusat ekonomi---Pulau Jawa dan Sumatera misalnya.
Pertama, Sekolah Dasar (SD). Awalnya saya pikir entah untuk apa bimbingan belajar pada jenjang ini, mengingat pelajarannya yang mudah-mudah. Namun justru bimbel pada usia sekolah dasar merupakan dasar bagaimana anak ditentukan nasibnya, apakah akan selalu bergantung pada bimbel atau tidak.
Dalam suatu les-lesan biasanya di akhir materi akan mengerjakan PR bersama tentor. Hal itulah yang membedakan anak yang bimbel dengan tidak pada usia SD seolah-olah derajat anak bimbel lebih terbantu terangkat gara-gara orang tuanya mampu secara finansial. Eh, jangan suuzan dong, kalau orang tuanya ternyata nggak mampu tapi terpaksa mendaftarkan anaknya ke bimbel karena kurang paham dengan yang diajarkan di sekolah bagaimana?
Ah, rasanya tidak akan selesai jika kita bicara tentang masalah pendidikan di negara kita ini. Iya sih sekolah gratis, tapi durasinya terlalu sedikit untuk materi sebanyak itu. Pilihannya cuma tiga, mengambil bimbel, belajar keras secara mandiri tanpa tentor atau ketinggalan materi. Di sinilah bimbel kemudian berperan, menawarkan program-program dengan tujuan awal "suplemen" sekolah formal. Lambat laun fungsinya bergeser menyukseskan tujuan tertentu seperti ujian nasional.
Maka saya apresiasi setinggi-tingginya untuk anak sekolah dasar yang tidak mengambil bimbel. Bayangkan, untuk bertahan saja mereka harus belajar mandiri dengan keras. Saya rasa untuk anak usia sekolah SD kuncinya adalah ada pada orang tua siswa. Orang tua siswa haruslah memilih antara mengajari anaknya sendiri---mengingat pelajaran SD masih sangat mudah dinalar, atau menyerahkannya ke pihak bimbel dengan membayarkan sejumlah tertentu.