Malam itu untuk pertama kali nya kami saling bertatapan setelah sekian lama. Jantungku berdetak dengan cepat, cukup cepat hinggan membuatku dapat mendengarnya bergaung di telingaku seraya mengolok-ngolok di tengah keadaan ini. Mataku terasa panas, aku tak tahu berapa lama lagi aku dapat menahan air yang yang berdiam di sudut ruang mataku ini. Walaupun dengan susah payah, akhirnya aku berhasil meyakinkan diri, lalu matakupun mulai bermain kesana-kemari seraya mengamati dirinya dengan seksama dan tak ada perubahan yang kutemukan.
Saat aku melihat matanya, aku merasakan kerinduan, "sinar mata yang polos dan lugu itu masih disana rupanya" kataku dalam hati. Lesung pipinya yang dengan sembunyi-sembunyi memperlihatkan dirinya saat ia tersenyum juga selalu saja dapat menarik perhatianku, namun rambut panjangnya yang hitam dan indah itu masih tetap menjadi bagian favoritku.
Bagian terakhir yang kulihat adalah tangan mungilnya yang seolah mengundang untuk di genggam. Aku sangat ingin menggenggamnya, namun itu sama saja seperti kepiting yang berharap dapat berjalan dengan lurus, MUSTAHIL. Terlalu banyak luka yang sudah ku torehkan di dadanya, cukup banyak untuk membuatnya berpikir bahwa aku tidaklah pantas untuk dalam kehidupannya. Saat ini semua keberanian yang sudah ku kumpulkan dengan susah payah hanya dapat kumanfaatkan menjadi sebuah sapaan singkat, "Hai, apa kabar?".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H