Lihat ke Halaman Asli

Rezi Hidayat

researcher and writer

Mengurai Benang Kusut Garam Nasional

Diperbarui: 30 Juli 2019   10:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Awal paruh kedua tahun 2019 ini bisa dikatakan menjadi petaka bagi para petambak garam nasional. Pasalnya, belum juga memasuki masa panen raya, harga garam rakyat ditingkat petambak anjlok hingga Rp.500-Rp.300 per kg-nya. 

Padahal, tahun lalu saat masa panen raya harganya masih bisa Rp.800-1.000 per kg-nya. Anjloknya harga tersebut diduga karena masih banyaknya stok garam akibat impor garam yang berlebihan tahun lalu saat produksi garam nasional melimpah. 

Impor garam tahun 2018 sebesar 2,7 juta ton dari kuota 3,7 juta ton. Sementara, produksi garam nasional berhasil mencapai 2,7 juta ton. Konsumsi garam tahun lalu sebesar 3,9 juta ton, sehingga ada kelebihan stok sekitar 1,3 juta ton awal tahun ini (Kemenko Kemaritiman, 2019). 

Ironisnya, meski stok garam banyak, pasokan garam untuk sektor industri seperti makanan dan minuman (mamin) justru kekurangan. 

Tahun ini industri mamin membutuhkan sekitar 550.000 ton garam yang disuplai dari impor, sedangkan kuota impor yang diberikan hanya 300.000 ton (GAPMMI, 2019).

Karut-marut persoalan garam nasional diatas bukan kali ini saja terjadi. Persoalan tersebut ibarat benang kusut yang tak kunjung bisa terurai. 

Banyak masalah klasik yang hingga kini belum teratasi secara tuntas. Jika kita coba urai benang kusutnya, penyebab polemik garam nasional selama ini setidaknya ada beberapa hal. Pertama, kurangnya komitmen pemerintah terhadap usaha garam nasional. 

Hingga kini pemerintah belum memiliki peta jalan (roadmap) pembangunan industri garam nasional yang komprehensif dan operasional. 

Sehingga, setiap Kementerian/Lembaga terkait maupun Pemerintah Daerah sering kali berjalan sendiri-sendiri. Misalnya saja terkait kebijakan penentuan impor garam yang sering tidak sinkron. 

Meski sudah diatur dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2016, bahwa rekomendasi impor garam merupakan wewenang Kementerian Kelautan dan Perikanan, namun kemudian muncul Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 2018 yang mengalihkan rekomendasi tersebut kepada Kementerian Perindustrian khusus untuk garam industri.   

Kedua, rendahnya mutu garam nasional yang sebagian besar dihasilkan dari garam rakyat. Mutu garam rakyat sejauh ini belum mampu memenuhi permintaan industri (NaCL > 96%) karena proses produksinya yang masih tradisional dan sangat tergantung iklim. Padahal, sebagian besar (sekitar 80%) konsumsi garam nasional diserap oleh industri. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline