Sudah tak terelakkan lagi bahwa perkembangan zaman yang begitu pesat, menuntut dunia untuk mampu merespon perubahan dengan lebih cepat. Sejak awal meluasnya teknologi internet pada tahun 1990-an, berbagai perubahan terus terjadi hampir disemua sektor pembangunan dan kehidupan manusia, hingga akhirnya tercetus revolusi industri 4.0.
Di era ini, setiap proses kerja menjadi lebih efisien dan efektif melalui otomatisasi dan komputerisasi yang dipadukan dengan teknologi Internet of Things, Artificial Intelligent, Big Data maupun Robotic. Sehingga, penguasaan teknologi yang terus berkembang pada era industri 4.0 ini memegang peranan sangat penting dalam menghadapi persaingan global.
Indonesia dengan potensi sumber daya alam dan manusianya yang melimpah, sejatinya mampu menjadi negara yang unggul di era industri 4.0. Namun, hingga kini kemampuan penguasaan teknologi kita tergolong masih tertinggal. Kapasitas IPTEK kita masih berada di kelas-3, dimana lebih dari 75% kebutuhan teknologinya berasal dari impor (UNDP, 2010).
Sementara itu, kecepatan koneksi internet kita juga masih kalah dibanding negara tetangga seperti Singapura, Thailand, Malaysia, Vietnam, Brunei, dan Filipina. Data Speedtest Global Index bulan Maret 2019, menyebut kecepatan mobile internet dan fixed internet kita masing-masing baru 10,51 Mbps dan 16,65 Mbps.
Lebih miris lagi, penilaian terhadap daya saing digital dalam meningkatkan ekonomi dan efisiensi di berbagai bidang di tahun 2018 Indonesia berada diurutan ke-62 dari 63 negara (IMD World Digital Competitiveness Ranking, 2018).
Kondisi tersebut tak ayal menempatkan Indonesia berada pada kategori 'Nascent Countries' atau negara yang baru 'melek' untuk menyongsong revolusi industri 4.0 (WEF, 2018). Pemerintah saat ini pun sigap merespon dengan membuat peta jalan 'Making Indonesia 4.0' untuk mengimplementasikan strategi revolusi industri 4.0 di Indonesia.
Ada lima sektor industri yang menjadi prioritas awal yakni industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, kimia, serta elektronik. Meskipun demikian, tak tertutup kemungkinan bagi sektor pembangunan lainnya untuk bisa menerapkan teknologi industri 4.0. Salah satu sektor pembangunan yang potensial yaitu sektor pertanian.
Sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya bekerja dibidang pertanian dengan kontribusi terhadap PDB terbesar ke-3 setelah sektor manufaktur dan perdagangan (BPS 2019), Indonesia sudah saatnya melakukan revolusi industri 4.0 pada sektor pertanian. Penerapan teknologi industri 4.0 akan mampu meningkatkan produktivitas hasil pertanian dengan lebih efisien dan efektif.
Aplikasi dari teknologi ini bisa diterapkan pada berbagai komponen usaha mulai dari penyusunan database usaha, proses produksi, akses investasi, hingga akses pasar. Beberapa aplikasi sudah mulai diterapkan di Indonesia seperti Sistem Monitoring Pertanaman Padi (SIMOTANDI),
Kalender Tanam (KATAM) Terpadu, Sistem Informasi Pemantauan Tanaman Pertanian (SIMANTAP), INAagrimap, Cyber Extension, dan Sistem Informasi dan Manajemen Spasial Prasarana dan Sarana Pertanian (SIMANIS) yang dikembangkan oleh Kementerian Pertanian.
Selain itu, ada juga aplikasi seperti Sayurbox, Kecipir, Pak Tani Digital, Limakilo, Tanihub, dan iGrow dalam membantu akses pemasaran maupun investasi sektor pertanian. Sayangnya, penerapan aplikasi-aplikasi tersebut belum begitu masif dan sering kali mengalami kendala teknis. Alhasil, pada prakteknya petani-petani kita sebagian besar tetap saja menggunakan teknologi yang tradisional.