Buku dengan judul "Anak-Anak Angin" ditulis oleh alumnus Indonesia Mengajar angkatan pertama. Buku setebal 271 halaman ini diterbitkan tahun 2013. Sebelum saya membedah buku secara mendalam, mari kita ulas terlebih dahulu penggalan cerita yang digagas buku ini, kemudian dilanjutkan kesisi positif buku ini, dan bagian terakhir kita akan bahas hal yang perlu ditingkatkan penulis di dalam penyusunan buku berikutnya.
Buku ini menceritakan pengalaman Seorang Bayu Adi Tama (lulusan ITB 2009), yang mengambil keputusan untuk ikut serta di program Indonesia Mengajar angkatan I Tahun 2010. Sebagai pengajar muda yang punya idealisme dan dedikasi yang kuat untuk membangun dunia pendidikan, Bayu rela pergi ke desa Bibinoi Kabupaten Halmahera Selatan. Pengalamnya ditulis lengkap dengan jenis episode peristiwa dan tanggal kejadiannya. Bagi seorang Bayu, menjadi pengajar di daerah terpencil adalah suatu pengabdian dan tantangan. Pengabdian untuk turut serta membangun generasi Indonesia yang haus ilmu pengetahuan, dan tantangan yang dihadapi berupa keterbatasan sumber daya listrik, komunikasi, dan jauh dari pusat keramaian. Untuk seorang yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di kota besar, menjadi pengajar di daerah terpencil tidaklah mudah. Bayu menceritakan bagaimana pertama kali bertemu siswa-nya yang sebagian besar tidak masuk kelas (hanya dua puluh orang dari tiga puluh tujuh yang siswa), dan banyak dari mereka mengalami kesulitan pelajaran Bahasa Indonesia dan berhitung, padahal kedua pelajaran tersebut termasuk pelajaran pokok yang harus dikuasai dengan "mahir".
Pengalaman Bayu tinggal di daerah pesisir membuat dia lebih arif dalam menapaki kehidupan. Salah satu bukti adalah ketika dia tidak tahan hidup di tengah masyarakat yang sangat menyukai suara musik yang keras hingga larut malam. Kalau saja Bayu tidak bisa menahan emosi, bisa saja dia memboikot acara dengan mencabut stop kontak listrik sound system, tapi dia memilih untuk mendekati pemuda desa yang suka musik tersebut secara persuasif. Walaupun hasil yang diperolehnya nihil, tapi disinilah Bayu belajar untuk menahan emosi sekaligus mencari solusi atas kemelut pemikiran dan perasaannya.
Kebahagiaan penulis buku ini dengan pekerjaannya menjadikan dia sangat menikmati proses setahun setengah di program Indonesia Mengajar. Walaupun beragam romantika dialami guru dan siswa dikelas, Bayu secara umum bisa menguasai dan menarik perhatian para siswanya.
Ketika saya membaca buku ini, saya teringat kisah Laskar Pelangi, yang salah satu penggalan ceritanya Buk Muslimah mengajak anak-anak muridnya ke pantai kemudian mereka meneriakan Laskar Pelangi. Kisah inipun hampir mirip terjadi di kehidupan Bayu. dia bersama siswanya membaca buku dan berbagi cerita pada saat sesudah jam istirahat di bawah pohon dekat pantai. Alam menjadi media pembelajaran yang efektif karena akan menjadi moment ingatan di hati dan pikiran para siswa.
Kalau dilihat apa saja yang menjadi nilai lebih buku ini, maka kita akan menarik kesimpulan adalah Motivasi untuk generasi muda (terutama fresh graduate), pesan yang ingin disampaikan adalah banyak cara untuk mengabdi kepada negeri ini. Walaupun ada pergulatan pikiran, antara Bayu dan ayahnya, tapi Bayu dengan tekad kuat dan didukung restu ibunya akhirnya pergi dengan persiapan mental dan metode pengajaran melalui autodidak (karena backgroundnya bukan Pendidikan).
Hal yang bisa dikembangkan oleh Bayu (seandainya ingin menulis) biografi ataupun cerita fiksi, sebaiknya diberikan pembukaan di dalam sebuah cerita. Saya merasa tidak adanya latar belakang atau penjelasan mengenai penulisnya ataupun tentang program Indonesia Mengajar. Sehingga pada buku ini seolah-olah pembaca dipaksakan untuk langsung menikmati alur cerita yang sudah disiapkan oleh penulis.
Palembang, 3 Juli 2016
Referensi :
Bayu Adi Persada, 2013, Anak-Anak Angin, Plotpoint publishing
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H