Lihat ke Halaman Asli

[Resensi] Anak-anak Angin

Diperbarui: 3 Juli 2016   10:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Buku dengan judul "Anak-Anak Angin" ditulis oleh alumnus Indonesia Mengajar angkatan pertama. Buku setebal 271 halaman ini  diterbitkan tahun 2013. Sebelum saya membedah buku secara mendalam, mari kita ulas  terlebih dahulu penggalan cerita yang digagas buku ini, kemudian dilanjutkan kesisi positif buku ini, dan bagian terakhir kita akan bahas  hal yang perlu ditingkatkan penulis di dalam penyusunan buku berikutnya.

Buku  ini menceritakan pengalaman Seorang Bayu Adi Tama (lulusan ITB 2009), yang mengambil keputusan  untuk ikut serta di program Indonesia Mengajar angkatan I Tahun 2010. Sebagai pengajar muda yang punya idealisme dan  dedikasi yang kuat untuk  membangun dunia pendidikan, Bayu rela pergi ke desa Bibinoi Kabupaten Halmahera Selatan. Pengalamnya ditulis lengkap  dengan  jenis episode peristiwa dan tanggal kejadiannya. Bagi seorang Bayu, menjadi pengajar di daerah terpencil adalah suatu pengabdian dan tantangan. Pengabdian untuk turut  serta membangun generasi Indonesia yang haus ilmu pengetahuan, dan tantangan yang  dihadapi berupa keterbatasan  sumber daya listrik, komunikasi, dan jauh dari pusat keramaian. Untuk seorang yang sebagian  besar hidupnya dihabiskan di kota besar, menjadi pengajar di daerah  terpencil tidaklah mudah. Bayu menceritakan bagaimana pertama kali bertemu  siswa-nya yang  sebagian  besar  tidak masuk kelas (hanya dua puluh orang  dari tiga puluh  tujuh  yang siswa), dan banyak dari mereka mengalami kesulitan pelajaran Bahasa  Indonesia dan  berhitung, padahal kedua pelajaran tersebut termasuk pelajaran  pokok yang harus dikuasai dengan "mahir".

Pengalaman  Bayu tinggal di daerah pesisir membuat  dia lebih  arif  dalam menapaki kehidupan. Salah  satu bukti adalah  ketika dia tidak tahan  hidup di tengah masyarakat yang sangat menyukai suara musik yang keras hingga larut malam. Kalau saja Bayu tidak bisa menahan emosi, bisa  saja dia  memboikot acara  dengan mencabut stop kontak listrik sound  system, tapi dia memilih untuk mendekati pemuda  desa yang suka musik tersebut secara persuasif. Walaupun hasil yang diperolehnya nihil, tapi disinilah Bayu belajar  untuk menahan emosi sekaligus mencari solusi atas  kemelut pemikiran dan perasaannya.

Kebahagiaan  penulis  buku  ini dengan pekerjaannya menjadikan  dia sangat menikmati  proses setahun setengah di program Indonesia Mengajar. Walaupun beragam romantika  dialami guru  dan  siswa dikelas, Bayu  secara umum bisa menguasai dan menarik perhatian para  siswanya. 

Ketika saya membaca buku ini, saya teringat kisah Laskar  Pelangi, yang salah satu penggalan ceritanya Buk Muslimah mengajak anak-anak muridnya ke pantai kemudian mereka meneriakan Laskar Pelangi. Kisah  inipun hampir mirip terjadi di kehidupan Bayu. dia bersama siswanya  membaca  buku dan berbagi  cerita pada saat sesudah jam istirahat  di bawah  pohon  dekat pantai. Alam menjadi  media  pembelajaran  yang efektif karena  akan  menjadi moment ingatan di hati dan pikiran  para siswa.

Kalau dilihat apa saja yang  menjadi nilai lebih buku ini, maka kita akan menarik kesimpulan adalah Motivasi  untuk  generasi muda (terutama fresh graduate), pesan yang  ingin disampaikan adalah banyak cara untuk mengabdi  kepada negeri  ini. Walaupun ada pergulatan pikiran, antara Bayu dan ayahnya, tapi Bayu dengan  tekad kuat dan  didukung  restu  ibunya akhirnya pergi dengan persiapan mental dan  metode pengajaran  melalui autodidak (karena backgroundnya bukan Pendidikan). 

Hal yang  bisa dikembangkan oleh  Bayu (seandainya ingin menulis) biografi ataupun cerita fiksi, sebaiknya diberikan pembukaan  di dalam sebuah cerita. Saya merasa tidak adanya latar belakang atau penjelasan mengenai penulisnya ataupun tentang program Indonesia  Mengajar. Sehingga pada buku ini seolah-olah  pembaca dipaksakan untuk langsung menikmati alur cerita yang sudah disiapkan oleh penulis.

Palembang, 3 Juli 2016

Referensi :

Bayu Adi Persada, 2013, Anak-Anak Angin, Plotpoint publishing

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline