Lihat ke Halaman Asli

Operation Elpiji ala "Wag The Dog"

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Operasi pencitraan politik dengan instrumen populisme dengan harga Elpiji (merk dagang LPG dari Pertamina) sedang berlangsung. Sekilas mirip dengan adagium "Why does a dog wag its tail? Because a dog is smarter than its tail. If the tail were smarter, the tail would wag the dog" .

Dalam studi strategi politik, istilah Wag The Dog menjelaskan bagaimana media massa digunakan untuk mengkondisikan dan bahkan merubah opini publik. Selain itu istilah tersebut mengambarkan rekayasa kesadaran dengan mengeksploitasi keluguan massa menyerap propaganda politik.

Beberapa hari ini, publik terjebak polemik kenaikkan harga Elpiji 12 kg. Setelah riuh rendah pro-kontra lalu muncul berbagai spekulasi. Sampai akhirnya Presiden dan anaknya ikut berkomentar. "Kebijakan yang membawa dampak luas ini tidak dikoordinasikan dengan baik dan persiapannya pun juga kurang. Ini harusnya tidak boleh terjadi". tweet SBY di @SBYudhoyono, Minggu ( 5/1/2014 ) dini hari. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengkritik Pertamina. Seharusnya, lanjut @SBYudhoyono, Pertamina terlebih dulu berkoordinasi dengan pemerintah sebelum memutuskan menaikkan harga.

Apakah ini hanya akal-akalan SBY dan perangkat kekuasaannya yang akan menggunakan instrumen populisme harga LPG? Untuk pekara ini, SBY dan gerombolan sudah terkenal liciknya. Pada Januari-Maret 2009, SBY 3 kali menurunkan harga BBM, setelah sebelumnya menaikkannya. Beberapa minggu lalu, SBY juga membatalkan aturan tentang tunjangan kesehatan. Bukan tidak mungkin, sebagaimana yang disinyalir oleh rival SBY, Anas Urbaningrum tentang adanya skenario yang sama dalam soal harga LPG ini.

Perihal ELPIJI
Begini latar ceritanya. PT Pertamina (Persero) per 1 Januari 2014 menaikkan harga elpiji non-subsidi tabung 12 kg sebesar 68 persen. Dengan kenaikan Rp 3.959 per kg tersebut, maka kenaikan harga per tabung elpiji 12 kg mencapai Rp 47.508. Sebelum kenaikan, harga elpiji 12 kg adalah Rp 5.850/kg atau Rp 70.200/tabung, ini harga yang berlaku sejak Oktober 2009. Dan sekarang harga elpiji 12 kg menjadi Rp 117.708/tabung. (catatan : Harga tersebut adalah harga jual di agen dan bukan harga jual eceran).

Kenaikan harga Elpiji 12 kg memang sudah diusulkan Pertamina sejak tahun 2009. Namun saat itu pemerintah hanya memberikan kenaikan di angka 5.850/kg jauh dari permintaan Pertamina. Sejak itu Pertamina dengan gigih mengusulkan kenaikan harga. Namun berkali-kali jeritan Pertamina tersebut diabaikan oleh Pemerintah. Alasannya banyak macam, misalnya konversi minyak tanah ke LPG belum selesai, harga TDL juga akan naik dan juga kenaikan BBM. Pertamina patuh dan tunduk terhadap pemerintah. Walaupun penjualan LPG 12 kg sejak 2009 telah menyumbangkan kerugian bagi Pertamina.

Tata niaga LPG memang sangat kacau. Pertamina (khususnya Divisi Gas DomestikI) berkali-kali mengupayakan perbaikan tata niaga namun sia-sia. Rapi di tingkat agen namun rusak di tingkat sub agen dan pengecer. Soal ini Pertamina memang selalu kedodoran, lihat saja fenomena penjual bensin eceran, apalagi soal LPG.

Tapi beruntung bagi Pertamina, ada momentum konversi Minyak Tanah ke LPG. Program nasional yang digagas Wakil Presiden Jusuf Kalla itu di mulai sejak tahun 2007. Awal program konversi minyak tanah ke LPG, produksi LPG dalam negeri sebesar 3 juta metrik Ton (MT) dan konsumsi masih 1,1 juta MT, Masih surplus 1,9 juta Ton.

Tapi di tahun 2013, konsumsi LPG meningkat. Rinciannya, untuk LPG 3 kg bersubsidi 4,41 juta MT, padahal kuota penjualan Pertamina hanya 4,39 MT sesuai yang tercantum dalam APBN 2013. Sedangkan konsumsi LPG 12 kg sebesar 977.000 MT. Tapi nilai penjualan LPG 12 kg tersebut mengandung kerugian. Karena pada LPG 12 kg Pertamina masih jual rugi.

Bagaimana tidak, saat harga LPG 12 kg dinaikkan dari Rp. 5.850/kg (harga Oktober 2009) menjadi 9.809/kg (harga per 1 Januari 2014) sebenarnya Pertamina masih merugi. harga pokok perolehan LPG telah mencapai Rp 10.785/kg atau masih jual rugi Rp. 976/kg. Jika konsumsi LPG 12 kg diasumsikan tetap 977.000 MT/tahun, maka potensi kerugian Pertamina untuk penjualan tahun 2014 berkisar di Rp. 953 Milyar/tahun.

Memang benar, dalam kurun 2009-2013 Pertamina menanggung kerugian dari penjualan LPG 12 kg (LPG non-PSO) tersebut sebesar Rp. 6 trilyun/tahun atau menurut klaim Pertamina, kerugian total senilai Rp. 22 Trilyun. Klaim kerugiaan yang bisa dipegang dapat kita ambil dari audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) atas bisnis LPG non Subsidi (LPG 12 kg) selama tahun 2011 s.d Oktober 2012. nilainya melebihi bailout Century atau sebesar Rp 7,73 triliun. Lebih lanjut, BPK mengkategorikan kerugian ini sebagai "Menyebabkan kerugian negara". Maklum saja, BPK berpegang pada Undang Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN, pasal 2 ayat 1 yang menegaskan "Salah satu tujuan pendirian BUMN adalah Untuk mengejar keuntungan."

Sekali lagi, Dilema Dualisme Harga

Pengelompokkan LPG menjadi LPG Public Service Obligation (PSO) bersubsidi tabung 3 kg dan LPG non-PSO tabung 12 kg bukan tanpa dasar. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2009 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Liquefied Petroleum Gas (Permen ESDM No. 26/2009). Pasal 25 Peraturan Menteri ESDM No 26/2009 menyebutkan "harga jual LPG untuk pengguna LPG Umum ditetapkan oleh badan usaha dengan berpedoman pada harga patokan LPG, kemampuan daya beli konsumen dalam negeri, dan kesinambungan penyediaan dan pendistribusian".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline