Lihat ke Halaman Asli

Mencari Lawan Jokowi - Si Manusia Setengah Dewa

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Proses pencarian lawan tanding Jokowi ini adalah keniscayaan untuk menghadirkan banyak pilihan baik diantara yang terbaik. Kita sudah terlalu lama harus menerima kondisi memilih terburuk diantaranya yang terburuk. Jika Jokowi dibiarkan melenggang sendirian dalam pertarungan Pilpres mendatang, boleh jadi kita akan menelan kembali kekecewaan terlalu berharap dengan popularitas busa sabun, besar menggelembung tapi hanya setitik air.

Pada artikel sebelumnya "Epos Jokowi Sang Demigod" telah dijelaskan alasan apa yang melatarbelakangi "penasbihan" Jokowi sebagai Calon Presiden Setengah Dewa. Alasan-alasan penasbihan tersebut antara lain, popularitas Jokowi tak terkalahkan oleh bakal calon Presiden manapun. Lalu soal partai, apapun partainya bahkan partai gurem sekalipun, berpotensi menjadi pemenang bila mengusung Jokowi sebagai calon presiden. Dan kebijakan apapun yang dibilang baik oleh Jokowi akan diterima publik sebagai kebijakan yang baik, vice versa.

Bahkan Foreign Policy melihat Jokowi sangat populer, "sehingga muncul istilah Jokowimania. Jika ia maju dalam pemilihan presiden, ada kemungkinan ia akan sulit dikalahkan. Ada harapan bahwa jika ia menjadi presiden, ia akan mengulangi prestasi baiknya selama ini," demikian ulas Majalah bergengsi di AS itu. Hal senada juga ditulis dalam artikel New York Times "In Indonesia, a Governor at Home on the Streets".

Mencari lawan tanding yang sepadan Jokowi untuk bertarung dalam pemilihan Presiden 2014 menjadi agenda yang penting saat ini. Jokowi sang Manusia setengah dewa akan dengan mudah melumat lawannya yang cuma kurcaci PEMALU alias pemain masa lalu. Semua nama yang menjadi pesaing Jokowi saat ini adalah orang-orang yang menjadi bagian dari rezim-rezim masa lalu. Dan Jokowi tampil sebagai harapan baru. Namun mengapa hanya Jokowi saja?

Mari, Kita Cari Lawan Tanding Untuk Jokowi

Jokowi terlalu digdaya namun juga sekaligus bisa menjadi ancaman demokrasi. Ancaman karena Jokowi ternyata meraksasa di hadapan para kurcaci PEMALU. Para petarung arena Pilpres hanya nama-nama hasil daur ulang atau replikasi elit politik. Para petarung yang memaksa diri masuk gelanggang setelah dikalahkan pada petarungan sebelumnya. Sedangkan di sisi lain, masyarakat menginginkan perubahan. Namun yang tersedia hanyalah Jokowi. Hal ini sangat disayangkan, karena dengan munculnya Jokowi tidak saja bisa mengalahkan para kurcaci PEMALU, namun juga menghalangi munculnya tokoh lain. Jokowi memang tampil sebagai harapan baru. Namun mengapa hanya Jokowi saja?

Kepemimpinan nasional adalah tema sentral dalam kancah politik satu tahun ke depan. Sistem pemerintahan Republik ini adalah Presidensial. Lembaga Kepresidenan memegang posisi kunci dalam jalannya pemerintahan. Namun seleksi kepemimpinan nasional hanya memberikan jalur dari partai politik. Kita tidak mungkin mengharapkan munculnya kepemimpinan nasional dari luar jalur tersebut. Namun, permasalahannya adalah, partai politik telah dikuasai oleh oligarki elit pemilik modal dan para "fans ababil tim hore-hore". Ini berakibat masyarakat menjadi apatis dan teralienasi dari politik. Dan juga sangat tidak percaya dengan partai politik. (hasil survey IPI, Juni 2013).

Jokowi muncul juga dari jalur yang tidak diperkirakan. Karirnya politiknya terbilang baru dimulai saat "didorong" mencalonkan diri sebagai Walikota Solo pada 2005 lalu oleh Ketua DPC PDIP Solo, F.X. Hadi Rudyatmo. Jelas, Jokowi bukan produk seleksi dan kaderisasi dari Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP). Jokowi bukanlah kader inti atau kepengurusan DPC PDIP. Dia hanyalah simpatisan PDIP. Hanya perlu 8 tahun bagi Jokowi untuk mencapai puncak bursa pemimpin nasional. Terbilang singkat jika dibandingkan dengan para pesaingnya yang harus melata memanjat pohon karir politik selama berpuluh-puluh tahun. Jokowi muncul dari partai politik yang mempunyai budaya politik "dibawah lindungan mamak banteng". Kehadirannya seolah-olah menjadi saingan bagi "mamak banteng" pemilik tunggal partai tersebut.

Jika memang proses pengkaderan PDIP, sebagaimana perang dan fungsi partai politik sebagai ajang pembentukkan dan seleksi kepemimpinan, berjalan dengan baik. Maka pasti sudah banyak Jokowi-Jokowi lainnya. Namun PDIP bisa dikatakan sangat langka menetaskan kader mumpuni. Berapa nama seperti Ganjar Pranowo, Rieke Dyah Pitaloka memang bisa disandingkan dengan Jokowi, namun itupun seperti "kurcaci" dihadapan 'si manusia setengah dewa' ini. Buktinya, mereka selalu menggunakan "Jokowi Effect" dalam perhelatan Pilkada di wilayah mereka. Singkatnya, lawan tanding Jokowi tidak mungkin berasal dari internal PDIP. Bahkan, yang terburuk, elit partai ini kemungkinan besar akan mendorong "mamak banteng" untuk mencalonkan diri kembali. Agar Jokowi tidak muncul dikancah Pilpres. Sehingga memberikan nafas bagi pesaing dekat Jokowi untuk bermanuver.

Situasi yang sama juga terjadi di Partai Politik lainnya. Sebut saja Partai Golkar. Pada tahun 2003, Partai Golkar menjadi pelopor mekanisme seleksi calon presiden dengan melaksanakan Konvensi Calon Presiden Partai Golkar. Hasilnya pelaksanaan Konvensi Capres Partai Golkar mengantarkan partai tersebut menjadi jawara di Pemilu Legislatif 2004. Namun sayang, keberhasilan di pemilu legislatif tidak diiringi sukses di pemilu presiden. Golkar ambruk! Dan sampai saat ini sepertinya Golkar menderita kutukan untuk tidak akan pernah bisa memenangkan kadernya diusung sendiri dalam pemilihan presiden. Tidak berlebihan jika menyebut Golkar memiliki lapis kader yang berkualitas, merata dan tersebar dari berbagai spektrum. Banyak tokoh muda yang sebenarnya bisa disandingkan dengan sebagai lawan tanding Jokowi. Namun apa daya, Golkar masih terjebak syndrome Group Think dengan berpatron pada lingkaran penguasanya, Aburizal Bakrie. Ketua Umum Partai tersebut telah jauh hari mencalonkan diri sebagai Calon Presiden Partai Golkar, terhitung sejak penetapan dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Juli 2012. Tapi walau sudah melakukan kerja-kerja politik yang maksimal, Ical cukup sukses menjadi Capres dengan elektabilitas berdigit satu koma. Partai ini juga menyimpan "bom waktu perang Bharatayudha" saat Ical habis masa jabatannya, kelahi merebut Ketua Umum pada 2015 mendatang. Jadi kita biarkan saja mereka kelahi daripada sekongkol.

Partai Demokrat sekarang juga telah latah mengikuti sukses Konvensi yang pernah dirasakan oleh Partai Golkar. Namun apa lacur, upaya gaya-gayaan ini tersandung dengan indikasi dugaan skandal korupsi SKK Migas yang melibatkan kader teras Partai milik keluarga Cikeas itu. Selain itu, Partai dengan logo Mercy ini terperosok ke titik terendah elektabilitasnya. Balik modal, kembali ke angka elektabilitas di bawah satu koma seperti saat masa jelang Pemilu 2004. Sebenarnya, jika saja Anas Urbaningrum tidak "dicongkel" maka boleh jadi dia bisa menjadi lawan tanding yang sepadan untuk Jokowi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline