Lihat ke Halaman Asli

Reza Syahrefi

Mahasiswa Universitas Airlangga

Optimisasi Pengurangan Sampah Plastik Melalui Penerapan EPR (Extended Producer Responsibility)

Diperbarui: 16 Desember 2023   21:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Masalah sampah plastik telah menjadi tantangan global yang semakin mendesak, serta menciptakan dampak serius terhadap lingkungan dan keberlanjutan planet. Menurut perkiraan World Economic Forum, jumlah sampah plastik yang masuk ke lautan diperkirakan akan mencapai 120 juta ton di tahun 2050. Dengan peningkatan jumlah sampah ini, kita dapat merasakan dampak yang serius, seperti pencemaran dan kerusakan ekosistem laut, kepunahan spesies biota laut, dan juga kerusakan laut secara keseluruhan.
Di tengah kompleksitas tantangan ini, konsep Extended Producer Responsibility (EPR) kemudian muncul sebagai konsep yang memiliki potensi besar untuk mengurangi dampak negatif sampah plastik. EPR menegaskan prinsip di mana produsen memiliki tanggung jawab penuh atas siklus hidup produk beserta kemasan yang mereka produksi, termasuk limbah sampah yang kemudian akan dihasilkan dari produk tersebut. Sebagai jawaban terhadap krisis sampah plastik yang semakin memburuk, EPR kemudian juga menjadi relevan dalam konteks mencapai Sustainable Development Goals (SDG), terutama SDG Poin 9 yang menitikberatkan pada infrastruktur, industrialisasi inklusif, dan inovasi. EPR selain menjadi pionir dalam pengurangan sampah, juga sebagai penjamin keberlangsungan pembangunan yang berjangka panjang.
 
Potensi EPR dalam Mengurangi Sampah Plastik
EPR memiliki potensi besar dalam mengurangi jumlah sampah plastik yang mencemari lingkungan. Salah satu alasan utamanya adalah karena EPR mendorong produsen untuk memasukkan pertimbangan lingkungan ke dalam tahap desain produk. Produsen yang memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan EPR cenderung menciptakan produk yang lebih tahan lama, dapat didaur ulang, atau bahkan dapat terurai secara alami.
Tidak hanya itu, EPR juga memicu inovasi dalam pengelolaan sampah. Produsen yang berkomitmen pada EPR cenderung menciptakan dan mengembangkan teknologi baru untuk mengumpulkan, memilah, dan mendaur ulang sampah plastik. Dengan terus mendorong batas-batas serta kerusakan yang dapat disebabkan oleh teknologi, EPR kemudian berperan sebagai pendorong penciptaan solusi yang lebih efektif dalam mengatasi masalah yang kompleks ini.
Selain itu, EPR memberikan kontribusi signifikan untuk meningkatkan kesadaran konsumen tentang pentingnya daur ulang. Apabila mereka mengetahui bahwa produsen produk yang mereka beli memiliki tanggung jawab akan pengelolaan sampah produk mereka, konsumen menjadi cenderung mendukung praktik daur ulang sampah plastik, menciptakan lingkungan sosial yang mendukung perilaku berkelanjutan karena mengetahui bahwa mereka tidaklah sendirian dalam menciptakan perubahan mikro, melainkan bersama-sama dengan perusahaan untuk menciptakan perubahan yang lebih signifikan.
 
Kompleksitas dan Problematika Konsep Lawas Reduce, Reuse, Recycle (3R)
Konsep reduce, reuse, dan recycle (3R) merupakan pendekatan pengelolaan sampah yang telah lama diterapkan di berbagai negara. Konsep ini menekankan pentingnya mengurangi (reduce), menggunakan kembali (reuse), dan mendaur ulang (recycle) sampah. Namun, dalam konteks pengelolaan sampah plastik, konsep 3R dinilai sudah tidak relevan lagi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain;
Pertama, faktor jumlah sampah plastik yang semakin meningkat. Jumlah sampah plastik yang dihasilkan di dunia terus meningkat setiap tahunnya. Jumlah sampah plastik yang dihasilkan di dunia diperkirakan akan mencapai 342 juta ton pada tahun 2030. Jumlah ini diprediksi akan terus meningkat dan lagi-lagi, seperti yang disebutkan di atas, akan mencapai 120 juta ton pada tahun 2050. Namun, hanya sekitar 9% dari sampah plastik yang dihasilkan di dunia didaur ulang. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan sampah plastik masih menjadi tantangan yang besar di dunia.
Kedua, Faktor keterbatasan sumber daya. Sumber daya untuk mendaur ulang sampah plastik juga terbatas. Misalnya, ketersediaan bahan baku daur ulang, tenaga kerja, dan teknologi daur ulang. Keterbatasan sumber daya ini membuat konsep 3R tidak dapat menjadi solusi yang efektif untuk mengatasi masalah sampah plastik.
Ketiga, Faktor desain produk. Desain produk memiliki pengaruh terhadap tingkat daur ulang sampah plastik. Produk yang sulit didaur ulang akan sulit untuk dipulihkan menjadi bahan baku yang berharga. Oleh karena itu, untuk meningkatkan tingkat daur ulang sampah plastik, desain produk perlu diubah agar lebih ramah lingkungan.
Konsep extended producer responsibility (EPR) merupakan pendekatan pengelolaan sampah yang lebih komprehensif dibandingkan konsep 3R. Konsep EPR menekankan pentingnya tanggung jawab produsen atas seluruh siklus hidup produk mereka, termasuk pengelolaan sampah yang dihasilkan. Beberapa trobosan yang dimiliki oleh EPR telah terbukti lebih efektif ketimbang harus melanjutkan kebiasaan lama, yakni 3R. Keunggulan tersebut adalah:
Pertama, EPR dapat mendorong produsen untuk mendesain produk yang lebih ramah lingkungan. EPR dapat mendorong produsen untuk mendesain produk yang lebih tahan lama, dapat didaur ulang, atau bahkan dapat terurai secara alami. Hal ini dapat mengurangi jumlah sampah plastik yang dihasilkan.
Kedua, EPR dapat meningkatkan tingkat daur ulang sampah plastik. EPR dapat meningkatkan tingkat daur ulang sampah plastik dengan mendorong produsen untuk berinvestasi dalam infrastruktur daur ulang dan meningkatkan kesadaran konsumen tentang pentingnya daur ulang.
Ketiga, EPR dapat mengurangi dampak lingkungan dari sampah plastik. EPR dapat mengurangi dampak lingkungan dari sampah plastik dengan mengurangi jumlah sampah plastik yang dihasilkan, meningkatkan tingkat daur ulang, dan mendorong inovasi dalam desain produk dan teknologi daur ulang.
Efektivitas EPR: Data Tambahan
Pengaplikasian Extended Producer Responsibility (EPR) telah menunjukkan hasil yang positif di beberapa negara, seperti Jepang dan Korea Selatan. Jepang berhasil mengurangi penggunaan kemasan sebesar 16% dari tahun 1996 hingga 2009, sedangkan Korea Selatan berhasil menurunkan jumlah sampah domestik per individu dari 1,3 kg per hari menjadi 1,04 kg per hari. Hasil ini menunjukkan efektivitas EPR dalam merespons masalah produksi limbah.
Prancis juga merupakan salah satu pelopor penerapan EPR, dimulai sejak tahun 1992. Negara ini telah mencapai kesuksesan yang signifikan dalam peningkatan tingkat daur ulang baterai (80%) dan pemulihan limbah kemasan (50%). Selain itu, Prancis juga memiliki skema EPR terbesar di dunia, dengan alokasi dana sebesar 600 juta Euro setiap tahunnya untuk pengelolaan limbah kemasan. Keberhasilan negara-negara ini dalam menerapkan EPR memberikan gambaran positif tentang dampak yang dapat dicapai dalam pengurangan sampah dan pengelolaan limbah secara menyeluruh.
 
Relevansi EPR dengan SDG Poin 9
Berdasarkan poin-poin di atas, EPR kemudian memiliki potensi besar untuk mengurangi sampah plastik dan berkontribusi terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) Poin 9. SDG Poin 9 mencakup pembangunan infrastruktur yang tangguh, industrialisasi inklusif dan berkelanjutan, serta promosi inovasi. EPR memiliki keterkaitan yang kuat dengan ketiga aspek tersebut.
Dalam konteks pembangunan infrastruktur, EPR dapat mendorong investasi dalam infrastruktur pengelolaan sampah yang tangguh. Infrastruktur ini tidak hanya diperlukan untuk mengumpulkan dan mengolah sampah plastik, tetapi juga untuk mendukung pengembangan teknologi yang lebih efisien dalam daur ulang dan pengelolaan limbah. EPR dapat mendorong investasi dalam infrastruktur pengelolaan sampah dengan menetapkan kewajiban bagi produsen untuk membayar biaya pengelolaan sampah yang dihasilkan dari produk mereka. Biaya ini dapat digunakan untuk membangun dan memelihara infrastruktur pengelolaan sampah yang diperlukan.
Dalam aspek industrialisasi, EPR dapat menjadi pendorong pertumbuhan sektor industri daur ulang. Industri daur ulang, yang dapat menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi, membutuhkan dukungan dari kebijakan EPR untuk menjaga kelangsungan operasional dan pertumbuhannya. EPR dapat mendorong pertumbuhan industri daur ulang dengan menetapkan kewajiban bagi produsen untuk menggunakan bahan baku daur ulang dalam produk mereka. Hal ini dapat meningkatkan permintaan terhadap produk daur ulang dan mendorong pertumbuhan industri daur ulang secara makro dan menyeluruh ketimbang harus mendaur ulang pada tiap hilir dari produk yang dibuat.
Dalam hal inovasi, EPR mendorong produsen untuk terus mengembangkan solusi yang inovatif. Melalui kewajiban memenuhi tanggung jawab EPR, produsen menjadi pionir dalam menciptakan teknologi baru yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan sampah plastik. EPR juga dapat mendorong inovasi dengan memberikan insentif bagi produsen untuk mengembangkan produk dan kemasan yang lebih ramah lingkungan. Insentif ini dapat berupa keringanan biaya EPR atau penetapan harga yang lebih tinggi untuk produk yang tidak ramah lingkungan.
EPR pada akhirnya bukan hanya solusi ilmiah yang potensial dalam mengurangi sampah plastik; melalui data dan bukti nyata, kita dapat menyimpulkan bahwa EPR adalah pendekatan yang efektif dan teruji waktu. Dengan mempertimbangkan efek positifnya pada desain produk, inovasi dalam manajemen sampah, dan kontribusi pada pencapaian target SDG Poin 9, EPR memiliki peran yang signifikan dalam membentuk masa depan yang lebih berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline