Imunitas kedaulatan negara merupakan prinsip fundamental dalam hukum internasional yang memberikan perlindungan kepada negara dari yurisdiksi hukum negara lain. Prinsip ini bertumpu pada asas kesetaraan antarnegara (par in parem non habet imperium), yang menegaskan bahwa satu negara tidak memiliki wewenang untuk mengadili negara lain.
Imunitas ini tidak hanya menjadi simbol kedaulatan, tetapi juga berfungsi sebagai mekanisme penting dalam menjaga stabilitas dan keharmonisan hubungan antarbangsa. Namun, di tengah dinamika global yang semakin kompleks, konsep imunitas kedaulatan menghadapi tantangan signifikan baik dari aspek hukum, politik, maupun ekonomi.
Dalam praktiknya, imunitas kedaulatan negara tidak bersifat mutlak. Beberapa kasus internasional menunjukkan adanya batasan terhadap penerapan prinsip ini, terutama ketika melibatkan pelanggaran berat terhadap hukum internasional, seperti kejahatan kemanusiaan, pelanggaran hak asasi manusia, atau kejahatan perang (Perang & Pelayaran, 2024).
Contoh konkret terlihat dalam perkembangan hukum internasional terkait yurisdiksi universal dan pengadilan internasional, yang membuka ruang bagi akuntabilitas negara atau pemimpin negara atas tindakan yang melanggar norma internasional. Hal ini menimbulkan perdebatan tentang bagaimana menyeimbangkan antara penghormatan terhadap kedaulatan negara dan penegakan keadilan internasional.
Selain itu, globalisasi dan interdependensi antarnegara juga semakin mengaburkan batas-batas kedaulatan tradisional. Dalam konteks ini, negara-negara seringkali terlibat dalam perjanjian multilateral atau organisasi internasional yang dapat membatasi kebebasan mereka untuk bertindak secara sepihak. Fenomena ini memunculkan pertanyaan baru mengenai sejauh mana imunitas kedaulatan negara tetap relevan dalam dunia yang semakin terintegrasi.
Tulisan ini akan mengeksplorasi konsep, batasan, dan dinamika imunitas kedaulatan negara dari perspektif hukum dan politik global(Istri & Andryani, 2017). Dengan mengkaji kasus-kasus aktual dan teori yang relevan, pembahasan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai bagaimana prinsip ini berkembang dan diimplementasikan dalam konteks hubungan internasional yang terus berubah.
Batasan Imunitas Kedaulatan Negara dalam Kasus Kejahatan Berat Internasional
Imunitas kedaulatan negara pada awalnya dipandang sebagai doktrin absolut yang melindungi negara dan pemimpinnya dari tuntutan hukum di yurisdiksi negara lain. Namun, seiring berkembangnya hukum internasional, batasan terhadap prinsip ini semakin mendapatkan legitimasi, terutama dalam konteks kejahatan berat internasional seperti kejahatan perang, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan agresi.
Perubahan ini lahir dari kebutuhan untuk menjunjung tinggi prinsip keadilan universal di atas kepentingan kedaulatan negara.
Salah satu titik penting dalam batasan imunitas kedaulatan terjadi melalui preseden yang ditetapkan oleh Pengadilan Nuremberg setelah Perang Dunia II (CSA Teddy Lesmana & Lisna, 2021). Dalam kasus tersebut, argumen bahwa pemimpin negara hanya menjalankan fungsi negara tidak diterima sebagai pembenaran atas tindakan kejahatan berat. Prinsip bahwa "kejahatan terhadap hukum internasional adalah kejahatan yang tidak dapat dimaafkan oleh negara" menjadi landasan bagi pengembangan hukum pidana internasional modern.
Kasus Mahkamah Internasional (ICJ) yang paling sering dikutip untuk membahas batasan ini adalah Germany v. Italy: Greece Intervening (2012). Dalam kasus ini, Jerman mengajukan klaim terhadap Italia karena pengadilan nasional Italia mencoba mengadili negara Jerman atas kejahatan perang yang dilakukan selama Perang Dunia II.