Amerika Serikat boleh lah ditaruh sebagai salah-satu negara yang paling pede tentang supremasi olahraganya. Bukan tentang kegemaran mereka melibas emas demi emas di Olimpiade, tapi juga di betapa prestisiusnya mereka memoles kompetisi di negaranya. Mereka akan dengan jumawa akan selalu melabeli tim yang menang kompetisi di AS sebagai world champhion.
Klaim ini jelas valid di liga 'sepak bola' ala mereka sendiri yang tergabung di NFL. Belum berani mereka mencap New York City FC yang kemarin menggondol juara MLS musim ini sebagai juara dunia. Hal serupa juga mereka sematkan ke liga lainnya yaitu basket (NBA), baseball (MLB), dan hoki es (NHL) meski hoki es ini mereka berbagi kursi dengan Kanada.
Tapi di salah satu kuartet liga major mereka ini sekarang supremasi amerika sedang digerus oleh serbuan talenta asing, yaitu di NBA. Gelombang NBA yang mengglobal di era Jordan banyak membuat negara-negara luar AS makin banyak yang ikut bermain basket dan memburu kesempatan bermain di NBA.
Saya kira puncak tersungkurnya supremasi Amerika terjadi di musim NBA 2019. Tahun dimana para talenta dari luar negeri memenangi banyak awards penting NBA musim itu dan bahkan juaranya saja dari Kanada. Tim Toronto Raptors yang berkandang di Scotia Bank Arena mampu menuntaskan dinasti keemasan Golden State Warriors dengan skor 4-2 dalam skema final best of seven.
Tak ketinggalan Greek Freak Giannis Antetokounmpo yang sepanjang musim bermain trengginas bersama Milwaukee Bucks dianugerahi MVP. Giannis tak lain berkebangsaan Yunani sekaligus punya darah Nigeria dari orang tuanya yang bermigrasi ke Yunani demi penghidupan yang lebih layak. Lebih dulu memulai karirnya di Liga Basket semi-pro Yunani sebelum memutuskan mengejar draft di 2013.
Memang pada dasarnya sudah terasah di kompetisi yang keras, dari musim ke musim kontribusi Giannis terus meningkat. Padahal pada musim debutnya dia hanya mencatatkan rataan poin per pertandingan 6,8 dan hanya 23 kali turun sebagai starter.
Musim 2019 juga dipenuhi oleh para debutan potensial dari penjuru dunia. Tak mengherankan pula Rookie of the Year 2019 jatuh pada Luka Doncic, warga Slovenia yang juga punggawa jawara Liga Basket Spanyol sekaligus EuroLeague, Real Madrid Baloncesto.
Tak main-main memang ketika Doncic datang ia sudah membawa gelar mentereng sejak dari Real Madrid. Pada usianya yang masih belum genap 20 tahun dia sudah menyabet MVP EuroLeague, Final MVP EuroLeague, dan MVP Liga Spanyol. Sejak mentas dari rookie seasonnya Doncic juga rutin masuk seleksi All-Star.
Kemudian ada raksasa Prancis Rudy Gobert yang musim itu sukses mempertahankan pos Defensive Player of the Year. Memang center andalah Utah Jazz ini masih menjadi mesin rim protector yang ganas dengan blok-blok yang tanpa ampun. Belum lagi uletnya Gobert dalam beradu fisik demi bola rebound.
Kehebatan Gobert masih terus terjaga hingga musim lalu pun ia kembali mendapat DPOY dan jadi yang ketiga baginya. Ia sempat harus rela tahtanya lepas di musim 2019/20 yang tak lain diembat oleh Giannis untuk dikawinkan dengan MVP miliknya dan menyusul Jordan, Olajuwon, Robinson, dan Garnett.