Lihat ke Halaman Asli

Bloor

TERVERIFIKASI

Masih dalam tahap mencoba menulis

Ketika Kiai Tak Takut Malaikat Sebab Jabatan

Diperbarui: 25 Desember 2021   07:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KH Mahrus Aly-KH As'ad Syamsul Arifin-KH Ali Maksum dalam satu kesempatan (dok:mahad-aly.sukorejo.com)

Para kiai dari Nahdlatul Ulama selain kesantunannya dan seringkali berdiri di kutub kelembutan, di sisi lain bisa menjadi sosok yang suka berseloroh. Guyonan antar kiai bisa sangat konyol sekaligus bikin sesaat perut kram. Mereka adalah sosok yang serius bahkan serius juga dalam saling gojlok.

Tapi ada kalanya para masyayikh ini menjadi pribadi kaku dan hemat senyum dalam keadaan-keadaan tertentu. Salah satunya ketika saling beradu argumen di agenda bahtsul masail yang memang berkaitan dengan hukum islam dan salah duanya ketika adanya problem suksesi pimpinan di tubuh NU itu sendiri.

Ketika KH Hasyim Asyari meninggal dunia secara tiba-tiba di tengah kondisi Indonesia yang digempur agresi militer, NU sudah menemui masalah khasnya dalam suksesi. Secara struktural Kiai Hasyim menduduki posisi Rais Akbar dan menjadi pucuk tertinggi organisasi. Meskipun sejak berdiri di 1926 NU sudah berkali-kali muktamar, tak ada satu pun agenda pergantian Rais Akbar. Ketika KH Abd Wahab Chasbullah menggantikan posisi Kiai Hasyim, nama jabatan berubah jadi Rais ‘Am karena tawadlu’nya Kiai Wahab. Nama yang bertahan hingga kini

Tapi tradisi masa jabatan Rais ‘Am seumur hidup kembali terulang tak peduli nama sudah berubah. Kiai Wahab menjabat sejak 1947 hingga wafatnya di 1971 meski melalui banyak muktamar dan pergantian ketua umum. Kemudian setelah itu jabatan diemban oleh KH Bisri Syansuri yang tak lain ipar sekaligus kompatriotnya dalam membantu Kiai Hasyim merintis jamiyah.

Memang ketika menjabat sudah sepuh, Kiai Bisri hanya menjabat selama sembilan tahun sebab wafat di 1980. Disini lah masalah suksesi makin pelik di kalangan para kiai sepuh. Generasi awal NU sudah mulai habis dengan wafatnya Kiai Bisri dan mau tak mau Rais Am untuk pertama kalinya mencari sosok di luar Jombang.

Singkat cerita ada tiga kiai paling dituakan di tahun itu, KH As’ad Syamsul Arifin, KH Mahrus Aly, dan KH Ali Maksum. Kiai As’ad tak lain adalah santri Syaikhona Cholil Bangkalan yang diutus untuk mengantarkan tasbih dan tongkat pada Kiai Hasyim ketika merintis jamiyah. Kiai Mahrus adalah figur tertinggi pengasuh Ponpes Lirboyo Kediri dan KH Ali Maksum menjadi sesepuh Ponpes Krapyak Yogyakarta.

Dirasa ketiga figur tersebut yang paling cocok menggantikan Kiai Bisri ketika di Munas alim ulama NU 1981. Suatu pertemuan yang bisa dibilang darurat menyusul kekosongan posisi Rais ‘Am. Disinilah terjadi perdebatan antara Kiai As’ad dan Kiai Mahrus mengenai siapa yang seharusnya menjadi Rais ‘Am setidaknya sampai muktamar di 1984.

Tapi adu argumen antar keduanya bukan dengan saling unjuk diri bahwa dirinya yang patut menjabat, namun sama-sama keras kepala tak mau kejatuhan amanah sebagai Rais ‘Am. Membayangkan diri sebagai orang yang menggantikan tiga kiai sepuh pendiri jamiyah bisa menjadi masalah sendiri bagi para ulama-ulama wirai ini. Selalu ada rasa tak pantas menjabat, apalagi disini memimpin sesama kiai lainnya yang mana spektrumnya sangat luas.

Dalam forum yang diadakan di Kaliurang, Yogyakarta itu muncullah kalimat kelakar serius dari Kiai As’ad ketika diusulkan forum untuk menempati jabatan Rais ‘Am.

“Insya Allah malaikat Jibril turun menyuruh saya jadi Rais Am, saya tidak mau. Kiai Mahrus saja”. Dalam riwayat dari Gus Mus ketika haul Kiai Ali Maksum. Tapi kemudia dibalas kelakar tak kalah sangar dari Kiai Mahrus yang serta merta disebut Kiai As’ad

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline