Lihat ke Halaman Asli

Bloor

TERVERIFIKASI

Masih dalam tahap mencoba menulis

Meneer Guus Hiddink Sang Patron

Diperbarui: 20 November 2021   10:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Guus Hiddink berada di tengah-tengah peserta event pencarian bakat bertajuk Nike The Chance di London, Inggris, pada 20 Januari 2011. Hiddink menyatakan pensiun dari dunia sepak bola pada 10 September 2022 di usia 74 tahun. (Foto: KOMPAS.com/Firzie A. Idris)

Pertama kali saya mengikuti Piala Dunia di 2002, harus mengalami pahitnya Italia yang kala didukung harus pulang dalam laga berdarah lawan Korea Selatan. 

Tak lain tak bukan di laga yang dipimpin Byron Moreno itu pertama kalinya saya belajar apa arti kalah dalam mendukung sebuah kesebelasan. Melihat Christian Vieri dan Francesco Totti menangis di Daejeon.

Empat ke tahun kemudian di gelaran Jerman 2006 ada suatu hal manis yang disuguhkan. Australia yang kembali ke Piala Dunia setelah terakhir kali di 1974 berhasil keluar dari fase grup menyingkirkan Kroasia dan Jepang. 

Secara epik Australia yang kala itu masih berafiliasi dengan Oseania mengangkangi Uruguay dalam play-off lewat adu pinalti. Berkat dua kali tepisan Mark Schwarzer, sepak bola kembali hidup di Australia.

Kesamaan dari kedua momen itu adalah satu nama, seorang wondermaker bernama Guus Hiddink. Sosok pelatih journeyman di berbagai klub dan tim nasional dan salah-satu pelatih asal Belanda yang paling dihormati. 

Namanya sering jadi bahan di Indonesia candaan karena Guus/Gus disamakan dengan gelar Gus yang berarti anak seorang kiai/ulama. Hiddink sendiri sudah menyatakan mundur dari kepelatihan per september lalu, setelah pernah terjangkit covid-19.

Mengawali karir kepelatihan di PSV sebagai salah satu timnya ketika menjadi pemain di masa mudanya. Hiddink langsung melejit bersama PSV bahkan pernah meraih treble di musim 1987-88. 

Meski begitu karirnya anjlok setelah ia memutuskan berpetualang ke Fenerbahce dan Valencia. Diikat untuk menukangi Belanda di 1995, Hiddink juga terbilang medioker dan gagal memaksimalkan talenta luar biasa Belanda di Euro 1996 dan Piala Dunia 1998.

Titik balik bagi karirnya adalah ketika di Korea Selatan. Sebagai tuan rumah tentu Korsel tak mau malu dengan tersingkir di fase grup, target baginya sangat jelas untuk lolos ke babak gugur. Sejak ikutan di edisi Meksiko 1986, Korsel selalu mandek di fase grup.

Nyatanya Hiddink yang serig diragukan sebelum gelaran memberi hasil yang melampaui ekspektasi. Lolos sebagai juara grup sekaligus memulangkan Portugal, mengangkangi Italia dan Spanyol di babak gugur membuat Hiddink begitu dipuja. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline