Bayangkan jikalau masa remaja yang harusnya anda habiskan dengan bersenang-senang menikmati pubertas masah bertepatan dengan revolusi negara. Itulah yang dialami oleh Marjane 'Marji' Satrapi di masa pubernya lewat novel grafis autobiografinya, Persepolis. Suatu sisi kemalangan baginya untuk mengalami secara langsung periode revolusi Iran di akhir 1970an hingga awal 1980an. Mengubah tanah Persia dari monarki ke republik, merekontruksi ulang tatanan yang mengorbankan segenap penduduknya.
Marji dengan ciamk mengemas salah satu periode paling gawat bagi Iran melalui panel-panel komikalnya. Sehingga pembaca masih mendapat intisari kisah hidupnya sekaligus tak mengamputasi suasana seorang anak kecil yang sedang bertutur. Kepolosan anak-anak itu lah yang membuat Persepolis istimewa, anak-anak yang dengan kepolosannya menghadapi zaman yang cepat bergerak selama revolusi.
Lahir di keluarga menengah dan dididik oleh model pengajaran ala barat di sekolah Prancis jelas membuat pikirannya tak jumud sejak dini. Meski kondisi Iran sudah mencekam sebab penangkapan besar-besaran tahanan politik oleh Shah Iran terakhir, Reza Pahlevi. Pamannya sendiri dari pihak ayah, Anoosh juga tertangkap sebab ideologi politik komunisnya. Nanti Anoosh inilah yang terus didekap Marji kecil sebagai pahlawan.
Tensi yang terus memanas dan gagalnya sang Shah menggaransi demokrasi akhirnya berujung pada berakhirnya era monarki. Pamannya Anoosh pun pulang dan tiap kali ada kesempatan Marji selalu menantikan cerita-ceritanya. Namun revolusi belum berakhir meski Shah sudah tumbang. Semua orang yang sebelumnya bersatu melawan Shah sekarang saling berebut tahta, ya benar, Republik Iran tak serma merta didirikan oleh para mullah.
Keadaan tak lebih membaik setelah golongan islamis terus memaksakan ideologi Islam sebagai dasar negara. Keadaan pun berubah, para petugas busana mulai bertebaran dan sekolah-sekolah diwajibkan memakai kerudung. Hal yang tentu sulit bagi Marji yang dibesarkan dalam kultur sekuler, terlebih Anoosh akhirnya malah meregang nyawa di tangan rezim baru dengan alasan lama, ideologi komunisnya.
Masih ketika negaranya belum kembali solid berdiri setelah rentetan revolusi, berkobar lah Perang Iran-Irak. Kedua bangsa yang sudah lama tak akur sejak zaman Mesopotamia-Persia ini akhirnya saling mengangkat senjata setelah Saddam Hussein khawatir revolusi syiah menyebar di negerinya dan ditambah sengketa perbatasan yang belum pernah disepakati.
Marji dengan apik menggambarkan bagaimana jet-jet tempur Irak bebas bermanuver di kota dan mengakhirinya dengan membombardir Teheran. Meskipun ayahnya tak pernah setuju dengan golongan islamis yang sedang berkuasa, nyatanya mereka sekeluarga kompak menggerutuh ke Irak disertai cerita serangan balasan Iran ke Baghdad. Meski sempat merayakan serangan balasan, mereka kemudian hening mengetahui separuh skuadron penyerang tak kembali, termasuk ayah temannya yang baru dibebaskan dari penjara dan langsung mempiloti salah satu jet tempur itu.
Meski dilanda konflik antar negara dan keadaan dalam negeri yang masih tak menentu, Marji masih mampu menikmati masa reamajanya. Ia menggemari Iron Maiden, memakai jaket jeans, sepatu Nike 1983, dan tak lupa memasang poster-poster di kamarnya. Barang-barang yang secara khusus ia inginkan ketika kedua orang tuanya berlibur ke Turki.
Keadaan tak pernah menjadi lebih baik lagi bagi keluarga Marji. Rezim baru memutuskan penutupan segala perguruan tinggi ala barat. Melarang permainan kartu, minum anggur, dan bahkan catur. Petugas-petugas penegak 'hukum' semakin banyak dan begitu pula dengan sirine peringatan bom.
Keluarganya bukan lah golongan rendah di masa itu, bahkan dari jalur ibunya dia mendapat darah keturunan Dinasti Qajar, dinasti penguasa Iran sebelum Pahlevi. Melalui Persepolis ia memotret bagaimana para golongan menengah ini masih tetap berpesta dan menyuling anggur sendiri demi menghindari stres di tengah revolusi.