Lihat ke Halaman Asli

Bloor

TERVERIFIKASI

Masih dalam tahap mencoba menulis

Tak Semua Generasi Emas Berkalung Medali Emas

Diperbarui: 4 Juli 2021   06:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tendangan melengkung Insigne antar kepulangan Belgia. (Claudio Villa/Getty Images)

Kekalahan Belgia dari Italia di perempat final Euro kali ini mungki juga sebagai gerbang penutup hagemoni generasi emas Belgia sejak 2014. Ada nama-nama menterang di setiap lini De Rode Duivels macam Courtois di bawah mistar, kuartet bek Vertonghen-Vermaelen-Alderweireld-Kompany, gelandang brilian Kevin de Bruyne dan Eden Hazard, sampai striker tenaga diesel Romelu Lukaku. 

Namun generasi hasil revolusi sepak bola Belgia ini tak pernah sekalipun sekadar menembus final turnamen sampai di tahun 2021 ini. Mungkin gelaran Piala Dunia tahun depan benar-benar menjadi penentu penghabisan generasi ini.

Langkah Belgia mengikuti jejak tim negara-negara lain yang pernah dicap generasi emas di berbagai irisan masa. Tak sedikit yang hanya berakhir sebagai lip service media-media meski ada juga yang benar-benar meraih langit kejayaan. 

Meda seringkali menggoreng timnas suatu negara yang sebelum-sebelumnya tak terlalu berprestasi namun akhirnya datang menantang turnamen dengan skuad mewah. Sebelum dikenal dengan nama-nama De Bruyne dkk, Belgia absen di turnamen besar sejak 2002 sampai 2012. Meski juga sempat merasakan masa keemasan pada 1980an.

Banyak tim yang sudah dilabeli golden generation, sebut saja Magical Magyars Hungaria 1950a, Yugoslavia akhir 1980an sampai awal 1990an, Inggris awal dekade 2000 yang juga berkelindan dengan generasi emas Portugal dan Italia, atau masukkan saja Prancis belakangan ini. Nyatanya nama-nama itu hanya Italia yang meraih kejayaan di ujung masanya, pada Piala Dunia 2006 dan Prancis tentu di 2018. Lainnya mengepak koper tanpa merengkuh trofi.

Hal tragis menimpa Hungaria dan Yugoslavia yang generasi emasnya menguap sebab kondisi politik negaranya. Sepulang dijungkalkan Jerman di partai puncak Piala Dunia 1954, Magycal Magyars dihadapkan dengan meletupnya rakyat Hungaria melawa pegaruh Soviet. Pemainnya macam Puskas, Czibor, Kocsis memilih meninggalkan negaranya yang sedang dilanda perang.

Sedangkan generasi emas Yugoslavia malah menghadapi perang antar negara-negara dalam Yugoslavia yang berujung pecahnya federasi. Hal yang meletar belakangi Yugoslavia tak ikutan Euro 1992 dan digantikan Denmark. 

Akhirnya pemain-pemainya juga terpecah membela negara barunya macam Suker dan Boban (Kroasia), Safet Susic (Bosnia & Herzegovina), dan Katanec (Slovenia). Negara pecahannya, Kroasia lah yang sampai sekarang paling sukses dengan sempat menembus final Piala Dunia pada 2018.

Timnas Inggris awal 2000an tentu yang paling malang. Berisi materi pemain mentereng, para bintang Liga Primer Inggris yang disebut-sebut terbaik di dunia, mereka hanya menemui kegagalan demi kegagalan. 

Tim dengan materi pemain semewah Beckham, Gerrard, Lampard, Ferdinand, Ashley Cole dan Owen dengan pelatih Sven-Goran Eriksson mentok mereka hanya mencapai babak konck-out pertama di tiap turnamen. Bahkan ada idiom kalau timnas Inggris sebenarnya semut yang digajahkan oleh hiperbola para media Inggris sendiri.

A wally with a brolly. (The Guardian/Tom Jenkins)

Catatan tak impresif Inggris kala itu benar-benar usai ketika dengan pilu mereka tak lolos gelaran Euro 2008. Steve McClaren yang ditunjuk semenjak Eriksson dipecat usai Piala Dunia 2006 seolah menyuntik eutanasia bagi 'generasi emasnya' Inggris. 
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline