Sampai sekarang Geoff Hurst tercatat sebagai yang satu-satunya pencetak hattrick di laga final Piala Dunia. Berondongan tiga golnya ke jala Jerman di Wembley 1966 memastikan kemenangan skuad besutan Sir Alf Ramsey. Tidak lagi ada peristiwa Inggris megangkat piala di turnamen besar manapun, sedangkan Jerman terus dikenal sebagai power house sepak bola dunia. Empat kali juara dunia dan tiga kali menggondol EURO. Tapi ada satu sepakan Hurst yang bakal diingat sebagai kontroversi hingga hari ini.
Hurst menyontek bola crossing kiriman Alan Ball di perpanjangan waktu, bola menghantam mistar gawang, memantul ke bawah, sebelum disapu Wolfgang Weber. Wasit Gottfried Dienst asal Swiss kebingungan dan berkonsultasi dengan hakim garis Toriq Bahamov dari Azerbaijan, hasilnya dia mensahkan gol. Sangat susah mengatakan bola benar-benar melewati garis gawang atau tidak, tapi yang pasti Inggris melesakkan gol tambahan di lanjutan durasi dan menyegel Piala Jules Rimet di akhir laga.
Semakin canggihnya zaman membuat banyak pihak mendesak FIFA segera berbenah mengenai alat pendukung kinerja wasit. Namun penerapan teknologi banyak menimbulkan pro kontra terutama dengan adanya opini bakal semakin menggerus sisi humanisme sepakbola.
Sampai akhirnya publik disuguhi lagi pertandingan Inggris lawan Jerman di 16 besar Piala Dunia 2010 di Bloemfontein. Inggris yang tertinggal oleh dua gol cepat Klose dan Podolski langsung mengisiasi gelombang serangan ke Jerman. Hasil instan langsung ditujuka dengan gol balasan dari sundulan Matthew Upson berhasil memperkecil ketertinggalan. Serangan Inggris belum usai, lewat skema serangan balik Lampard berhasil melesakkan tendangan keras ke gawang Neuer. Membentur mistar gawang, melewati garis, memantul lagi sebelum ditangkap oleh Neuer, tapi pengadil Jorge Larrionda asal Argentina tidak tertarik mensahkannya sebagai gol.
Lampard meradang dan kesempatan menyamakan kedudukan pun sirna. Bahkan Jerman menambah keunggulannya dan laga berkesudahan 4-1, Inggris mengepak koper dari Afrika Selatan. Kali ini FIFA dan IFAB semakin susah berkelit untuk menerapkan teknologi pembantu kinerja wasit, media Inggris bulan-bulanan mencerca FIFA dan kinerja wasit. Sedangkan media Jerman mengganggap kejadian yang menimpa Inggris adalah karma dari 1966.
Jorge Larrionda tak dapat berbuat banyak di kejadian gol hantu Lampard. Badan Neuer menutupi tempat bola memantul, asisten wasit tidak dalam posisi sempurna dan tidak ada alat untuk membantunya. Meski tayangan ulang jelas menunjukkan bola sudah jauh melewati garis, pada masa itu tayangan ulang bukanlah instrumen wasit dalam menentukan keputusan. Gelombang protes agar diimplementasikannya goal-line technology sampai menghiasi obrolan bapak-bapak di warung kopi.
Tapi FIFA masih bergeming atas keputusannya tak memakai teknologi ini. Baru pada 2011 diadakan percobaan dan di 2012 IFAB memutuskan memasukkan teknologi garis gawang sebagai opsional alat bantu. Ada hal unik dimana Michel Platini berkomentar bahwa cost besar untuk implementasi teknologi garis gawang harusnya lebih memberi manfaat jika dipakai untuk pembangunan sepak bola level grassroot. Hal yang ironi mengingat Platini beberapa tahun kemudian malah ditangkap akibat korupsi.
Bola salju terus bergulir untuk dibukanya kran teknologi bantu di sepak bola. Entitas selanjutnya adalah VAR (video assistant referee), yang diisiasi pengembangannya oleh KNVB sejak awal dekade 2010an. Selanjutnya banyak liga mulai memakai VAR untuk meminimalisir kesalahan wasit, KNVB sejak 2014 sudah mengirmkan petisi resmi perihal memasukkan VAR dalam Laws of The Game. Langkah VAR diterima makin mulus setelah Sepp Blatter sebagai pihak tergigih menolak VAR ditangkap sebab korupsi. Piala Dunia 2018 menjadi ajang besar pertama bagi VAR yang kemudian diikuti liga-liga lainnya.
Sebagai sebuah laga tunggal, Jerman vs Inggris 2010 atau lebih khusus lagi gol hantunya Lampard memiliki pengaruh begitu besar dalam revolusi Laws of The Game. Pihak kolot dengan Blatter dan Platini dedengkotnya sebagai dedengkotnya tersingkir duluan lewat kasus korupsi. Publik semakin terbuka dengan implementasi teknologi di sepak bola. Alasan hilangnya humanisme akibat teknologi juga terbukti tidak sahih, mengingat masih bermunculannya keputusan kontroversial dari para wasit. Apakah laga nanti malam akan memberi kita suguhan pemantik revolusi lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H