Sudah sejak 24 Juni lalu UEFA sebagai badan tertinggi sepak bola Eropa mengetok palu penghapusan peraturan gol tandang di semua kompetisi yang berjalan di naungannya. Secara efektif keputusan ini berlaku mulai musim depan.
UEFA mengharap permainan lebih impresif semenjak dihapuskannya aturan gol tandang. Banyak pro dan kontra mengenai hal ini dan tidak dipungkiri berkat aturan gol tandang kita dapat mendapat momen magis macam La Remontada yang diagung-agungkan pendukung Barcelona pun pula ketika Barcelona sendiri gigit jari beberapa musim kemudian oleh skema mirip oleh AS Roma.
UEFA kali ini berlindung dibalik alasan supaya permainan lebih menyerang sebab biasanya tim dengan keunggulan gol tandang di leg kedua bakal main bertahan mati-matian. Hal yang juga dirasa kurang adil ketika di masa pandemi ini banyak klub yang tidak bermain di kandangnya sendiri akibat aturan covid.
Dulu aturan ini digunakan untuk mengakomodir susahnya transportasi di masa lalu dimana bermain antar negara sungguh melelahkan, sebab usaha yang lebih itu gol tandang seolah bernilai ganda.
Ini adalah kesekian kalinya federasi penyelenggara turnamen menginisiasi perubahan untuk mengakomodir taktik menyerang. Situasi ini kembali mengingatkan kita ketika sepak bola bertahan menjadi primadona di awal dekade 1990.
Piala Dunia 1990 bahkan dicap sebagai helatan piala dunia paling 'negatif' setelah minimnya gol tercipta, rataan gol hanya 2.2 pertandingan. Argentina saja mampu menembus final hanya dengan mencetak lima gol dari enam kali main.
Pada masa itu mereka memanfaatkan celah berupa back-pass. Tim dihalalkan mengoper ke belakang sampai ditangkap oleh kiper. Hal ini berkembang menjadi suatu protokol bagi kesebelasan yang unggul untuk mengoper ke kiper dan ditangkap sebagai cara mengulur waktu.
Bola dari kiper akan diumpan pendek-pendek saja ke defender, kemudian diumpan balik ke kiper, kiper menangkap bola, sedikit memantul-mantulkan bola, mengoper lagi ke bek dan prosedur berulang.
Sungguh bagaimana bosannya penonton melihat hal semacam itu. Jonathan Wilson pernah menuliskan dalam pertandingan grup antara Irlandia dan Mesir, penjaga gawang Irlandia, Packie Bonner membawa bola di tangannya selama hampir enam menit tanpa melepaskannya.
Bukan hal aneh di jamannya, termasuk kejayaan Liverpool di kancah eropa pada dekade 1970an dan 1980an. Pemain bertahan bakal menaruh opsi mengoper ke penjaga gawang sebagai pilihan paling aman, meski ada beberapa berakhir petaka seperti yang dilakukan Lee Dixon pada Seaman di Liga Inggris 1991.