Indonesia di era Orde Baru, terutama pada dekade 1990-an menghadapi tantangan ekonomi besar yang dikenal dengan "Twin Defisit" atau defisit kembar. Istilah ini merujuk pada kondisi ketika sebuah negara mengalami dua jenis defisit sekaligus yaitu, defisit anggaran dan defisit neraca berjalan. Meskipun fenomena ini tidak hanya dialami oleh Indonesia, melainkan juga oleh negara berkembang lainnya, implikasinya sangat dirasakan secara nyata oleh masyarakat Indonesia, terutama saat krisis moneter Asia 1997-1998 melanda.
Pada dasarnya, twin deficit yang terjadi di Indonesia pada era Orde Baru disebabkan oleh kebijakan pembangunan ekonomi yang sangat ambisius. Pemerintah Suharto fokus membangun infrastruktur dan mengembangkan industri berbasis utang luar negeri. Langkah ini awalnya terlihat sebagai solusi cepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dana besar dari luar negeri digunakan untuk membangun jalan, jembatan, pelabuhan, serta mendirikan berbagai industri strategis, di antaranya sektor otomotif dan manufaktur. Sayangnya, pembangunan yang pesat ini memicu ketergantungan besar pada barang impor, terutama barang modal dan bahan baku. Kenaikan impor ini kemudian memperparah defisit neraca berjalan, yakni selisih antara nilai ekspor dan impor barang, jasa, serta aliran modal. Dengan neraca berjalan yang terus defisit, Indonesia bergantung pada modal asing untuk menutupi kekurangan, yang akhirnya menyebabkan ketidakseimbangan ekonomi.
Kebijakan fiskal yang kurang hati-hati juga menjadi penyebab twin defisit. Defisit anggaran membengkak karena besarnya belanja pemerintah, termasuk subsidi BBM dan pembayaran bunga utang yang semakin besar. Tahun 1998, subsidi BBM melonjak menjadi 34,6 triliun rupiah, meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Pada saat yang sama, pengeluaran untuk pembayaran utang luar negeri semakin membebani anggaran, yang memaksa pemerintah menambah utang baru demi memenuhi kewajiban. Ironisnya, kebijakan yang didasarkan pada pertumbuhan berkelanjutan ini malah menciptakan ketergantungan yang rapuh pada pinjaman asing, yang akhirnya membuat Indonesia sangat rentan terhadap gejolak ekonomi global.
Krisis moneter Asia pada 1997 memperburuk kondisi ekonomi Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS anjlok, dari sekitar Rp. 2.500 per USD pada 1997 menjadi lebih dari Rp. 15.000 per USD pada 1998. Pelemahan ini mendorong kenaikan inflasi yang melambung hingga di atas 70%, mengurangi daya beli masyarakat secara drastis, dan menimbulkan lonjakan harga barang-barang kebutuhan pokok. Situasi ini mengguncang stabilitas sosial, menyebabkan krisis kepercayaan terhadap pemerintah, hingga akhirnya berujung pada lengsernya Presiden Suharto.
Krisis ini memberikan dampak besar pada stabilitas sistem keuangan Indonesia. Selain inflasi tinggi, pemerintah juga terpaksa menaikkan suku bunga untuk mempertahankan rupiah, yang justru memperberat beban utang perusahaan-perusahaan domestik yang terutang dalam dolar AS. Akibatnya, banyak perusahaan yang bangkrut, pengangguran meningkat, dan ekonomi terkontraksi drastis. Situasi ini menunjukkan bahwa twin deficit bukan sekadar masalah fiskal, melainkan juga dapat bertransformasi menjadi krisis multidimensional yang melibatkan aspek sosial, politik, dan ekonomi.
Krisis ekonomi yang terjadi pada akhir 1990-an menunjukkan betapa rentannya ekonomi Indonesia terhadap gejolak eksternal, terutama ketika sektor keuangan belum sepenuhnya matang. BI pada saat itu menerapkan kebijakan suku bunga tinggi, hingga mencapai 70% pada Januari 1998, untuk menahan laju depresiasi rupiah. Langkah ini berhasil menjaga stabilitas nilai tukar, tetapi menyebabkan suku bunga dalam negeri yang tinggi, meningkatkan biaya pinjaman, dan memperburuk keadaan ekonomi domestik. Kebijakan ini diiringi dengan langkah intervensi di pasar valuta asing untuk mempertahankan nilai tukar, yang berdampak pada penurunan cadangan devisa dari $20 miliar pada 1997 menjadi hanya $14,4 miliar pada 1998.
Pengalaman ini memberikan pelajaran penting stabilisasi jangka pendek harus dibarengi dengan restrukturisasi ekonomi yang mendasar. Langkah BI dan pemerintah dalam melakukan restrukturisasi sektor perbankan melalui program rekapitalisasi bank merupakan upaya jangka panjang untuk memastikan ketahanan sektor keuangan. Program ini memiliki dampak signifikan, terutama dengan anggaran yang mencapai Rp 450 triliun atau sekitar 40% dari PDB saat itu. Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan harus didukung dengan fundamental ekonomi yang kuat dan kebijakan fiskal yang hati-hati. Ketergantungan pada utang luar negeri dapat menjadi bumerang jika tidak diiringi dengan kapasitas untuk membayar utang secara berkelanjutan. Selain itu, impor yang terlalu besar tanpa dibarengi peningkatan produksi dalam negeri membuat ekonomi rentan terhadap fluktuasi global, terutama ketika nilai tukar melemah.
Di era reformasi Indonesia kembali mengalami masalah twin defisit, terutama selama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden Joko Widodo. Defisit fiskal melebar sebagai dampak dari krisis global 2008-2009 dan pandemi COVID-19 pada 2020. Era Presiden SBY menunjukkan peningkatan defisit terbesar pada 2009, mencapai 88,6 triliun rupiah, sementara di era Presiden Joko Widodo, defisit terbesar terjadi pada 2020 dengan pertumbuhan mencapai 947 triliun rupiah. Hal ini disebabkan oleh belanja pemerintah yang besar, terutama untuk infrastruktur dan birokrasi di era Presiden Joko Widodo. Di era SBY, fokus lebih diarahkan pada belanja subsidi, terutama di sektor energi, sementara era Presiden Joko Widodo lebih terfokus pada belanja pegawai dan belanja barang untuk mendukung proyek infrastruktur besar-besaran. Penurunan penerimaan pajak, terutama dari sektor migas, dan stagnasi pertumbuhan pendapatan negara semakin memperburuk defisit fiskal.
Twin defisit berdampak langsung terhadap neraca transaksi berjalan dan fiskal pemerintah. Untuk menutupi defisit, pemerintah mengandalkan pembiayaan melalui penerbitan utang. Utang pemerintah Indonesia pada kuartal pertama 2024 mencapai sekitar 39% dari PDB, yang berarti beban pembayaran bunga utang menjadi signifikan. Kondisi ini dapat menyebabkan ketergantungan pada utang luar negeri dan risiko peningkatan suku bunga yang dapat memperbesar beban pembayaran di masa mendatang. Defisit neraca transaksi berjalan juga berpotensi membebani anggaran karena meningkatnya kebutuhan impor migas. Situasi ini diperparah oleh fluktuasi harga minyak global, yang dapat memperlebar defisit anggaran dan menambah kebutuhan subsidi BBM. Twin deficit juga memicu perpajakan distorsif di masa depan, seperti peningkatan PPN yang direncanakan akan mencapai 12% pada 2025, yang berpotensi mengurangi daya beli masyarakat dan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Dalam menghadapi fenomena twin deficit di era reformasi, BI berfokus pada stabilisasi nilai tukar rupiah. Stabilitas nilai tukar menjadi penting untuk mencegah inflasi impor (imported inflation) yang dapat mengurangi daya beli masyarakat. BI juga menerapkan kebijakan suku bunga kontraktif pada periode 2014-2016 dan akhir 2018 hingga awal 2020 untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Di samping kebijakan suku bunga, BI juga melakukan intervensi di pasar valuta asing menggunakan cadangan devisa. Penurunan cadangan devisa pada tahun-tahun tertentu, seperti 2015 dan 2018, menunjukkan adanya upaya BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar melalui intervensi pasar. Meskipun intervensi ini menguras cadangan devisa, stabilitas nilai tukar menjadi prioritas untuk menjaga perekonomian Indonesia dari tekanan eksternal.
Bank Indonesia berperan dalam menjaga stabilitas ekonomi Indonesia melalui berbagai kebijakan yang adaptif terhadap dinamika krisis. Pengalaman Indonesia menghadapi krisis twin deficit menunjukkan bahwa langkah-langkah stabilisasi harus diiringi dengan reformasi yang berkelanjutan untuk mencapai keseimbangan ekonomi. Dalam jangka panjang, peningkatan efisiensi fiskal, pengelolaan utang yang hati-hati, dan penguatan basis pajak akan menjadi kunci bagi Indonesia untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan. Melalui koordinasi yang baik antara BI dan pemerintah, diharapkan Indonesia dapat mengatasi tantangan twin deficit ini dan menciptakan kondisi ekonomi yang stabil serta berdaya saing tinggi di kancah global.