Lihat ke Halaman Asli

Terlampau Banyak Demonstran Musiman

Diperbarui: 18 Juni 2022   23:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bagaimana mungkin Indonesia mau maju, sementara terlampau banyak demonstran musiman. Demonstran musiman hanya muncul ketika ada isu yang santer di media. Dengan gagahnya memproklamirkan "bahwa sayalah pembela tanah air, pembela rakyat yang tertindas", nyatanya cuma numpang eksis di mimbar aksi, bahkan cuma di pinggiran trotoar atau markah jalan.

Kemana kalian sebelum muncul kebijakan kontroversi?. Kalian tidak sedang benar-benar peduli dengan negeri ini. Padahal, hanya akan terbuka peluang kecil untuk munculnya kebijakan kontroversial jika sedari awal dikawal. Katanya, idealis, lalu kemana kalian yang sering menggaungkan "Mencegah lebih baik daripada mengobati". Cukup penting untuk memahami bahwa gagasan itu diuji dalam konsistensi. Gagasan yang baik tidak stagnan pada tempo tertentu. Sehingga, pikiran yang terlalu kerdil hanya akan menganggap unjuk rasa di jalan adalah satu-satunya bentuk demonstrasi. Kemudian berlindung di balik kalimat bahwa "itu sudah lebih dari cukup ketimbang tidak sama sekali".

Penulis tidak lagi harus menerangkan tentang bentuk-bentuk atau pola unjuk rasa selain di turun ke jalan, sebab, penulis percaya bahwa demonstran yang baik adalah mereka yang suka memperluas bacaannya. Dengan begitu, pemahaman terhadap pola pengambilan kebijakan oleh pemerintah akan terus berkembang, ini akan mendukung mereka dalam mengawal roda pemerintahan.

Dewasa ini, masih terbilang cukup banyak media yang menerima gagasan-gagasan brilian untuk dipublikasikan. Atau paling tidak, lebih mudah di media sosial masing-masing, sebab kita punya cukup kuasa untuk mengontrol dan mem-publish gagasan yang kita anggap benar. Dengan begitu, akan jadi salah satu cara dalam mengawal kebijakan, dan itu logis untuk dilakukan setiap waktu, berbeda dengan unjuk rasa di jalan.

Ciri kedua demonstran musiman selain tidak mengawal kebijakan sebelum timbul kontroversi adalah setelah aksi unjuk rasa selesai, mereka menghilang, tidak benar-benar merawat luka negeri ini, yang katanya bisa diobati dengan sekali unjuk rasa. Sementara merawat adalah memutuskan untuk memastikan agar pemerintah tidak lagi jatuh di lubang yang sama, atau paling tidak adalah tidak menciptakan lubang yang besar.

Cukup penting untuk memahami bahwa sebuah negara akan berjalan dengan baik kalau semua unsurnya berfungsi dengan baik, pengakuan dari negara lain, wilayah, pemerintah yang berdaulat, terkhusus rakyat yang memegang peran penting untuk saling bekerja sama dalam mengawal roda pemerintahan, termasuk di dalamnya rakyat, eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Sederhana saja dalam menilai, bahwa para pejabat adalah manusia biasa yang sama dengan kita, mereka pun rentan keliru dalam mengambil keputusan. Alasan kedua adalah karena demokrasi menomorduakan kualitas setelah elektabilitas. Kita tidak boleh serta merta menyerahkan semuanya di tangan mereka, bahwa merekalah yang bertanggung jawab atas tugas dan fungsinya, maka pada kondisi seperti ini, para pejabat juga tidak sepenuhnya salah dalam menentukan kebijakan, karena kita membiarkan mereka untuk menerka-nerka apa maunya kita.

Sehingga, dapat penulis simpulkan bahwa penyakit yang selama ini kurang kita sadari adalah kurang pedulinya kita dalam mengawal roda pemerintahan, terlalu banyak demonstran musiman di negeri ini, jika dilihat dari jumlahnya, hanya beberapa persen yang masih eksis di media sosial untuk bersuara. Sementara sekarang terlampau banyak platform yang mendukung hal tersebut, kita tidak boleh terjebak dengan mindset primitif, zaman dulu memang benar bahwa unjuk rasa di jalan adalah wadah untuk gerakan besar-besaran. Juga penting untuk memahami bahwa demonstrasi tidak harus selalu gaduh.

Mereka seringkali lebih takut untuk bersuara di media sosial karena lebih dulu dihantui oleh rasa takut dengan Undang-undang ITE, padahal secara tidak langsung, mereka mengakui bahwa pemerintah punya kuasa penuh terhadap Undang-undang, sementara itu tidaklah benar. Pemerintah tidak punya kuasa penuh terhadap suatu aturan. Jangan hanya karena atas nama punya kuasa dalam pengambilan keputusan lantas sesuka hati untuk memberangus apa yang tidak sejalan dengannya. Ada beberapa poin yang perlu diketahui sebelum menulis, khususnya mengkritik, diantaranya adalah bahwa penghinaan atau pencemaran nama baik hanya dapat dibuktikan ketika ditujukan untuk individu secara spesifik. Majas, kata bersayap, dan tanpa menyebut oknum adalah salah satu cara untuk aman dalam menulis.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline