Liga 1 Indonesia musim 2017 telah berakhir dengan skor 3-1 antara Bhayangkara FC dan Madura United diakhiri selebrasi juara oleh para pemain klub milik kepolisian republik indonesia. Sayang masih banyak pihak mempertanyakan hal ini bahkan dari para profesional olahragawan sepakbola Indonesia.
Gelandang Persija Jakarta Ramdani Lestaluhu mengetik lewat media sosialnya "Kok aneh ya juaranya? Apa cuma perasaan aja?" bahkan Sylvano Comvalius penyerang Bali United yang secara poin murni harusnya Bali United ada diatas Bhayangkara FC sampai mengetik sindiran "Indonesian Super Circus League".
Seakan tidak mau kalah beberapa senior seperti Bambang Pamungkas, Ricardo Salampessy sampai Hamka Hamzah ikut mengetikan komentar bernada kekecewaan. Usut punya usut pangkal masalahnya ada pada beberapa "keistimewaan" Bhayangkara FC dari mulai perlakuan khusus polisi pada pengamanan laga sepakbola sampai bonus poin diluar jalur murni pertandingan.
Sejarah olahraga pada khususnya sepak bola mencatat awal mula keterlibatan polisi hanya pada petugas keamanan saja tidak ikut main bola pada klub kompetisi sipil. Masuknya polisi ke dalam stadion sepak bola untuk bermain bola bersama sipil hanya sebatas pertandingan persahabatan saja bukan kompetisi.
Entah karena apa mungkin karena euforia pelebaran kekuasaan polisi di masa damai turut serta membuat kepolisian republik indonesia masuk dalam kompetisi dan seolah tidak mau kalah dengan TNI melalui PS TNI. Momentum masuknya kedua lembaga bersenjata ke dalam kompetisi olahraga sepakbola dimulai dari kisruh dualisme PSSI dan KPSI yang berakhir pada pembekuan status sepakbola Indonesia oleh FIFA.
Dulu Sipil galau tak punya kompetisi hingga pemerintah turun tangan gandeng TNI dan Polisi serta lembaga lain adakan kerjasama kompetisi sepakbola nasional yang sekarang berakhir pada multifungsi lembaga bersenjata dalam olahraga indonesia khususnya sepakbola.
Kepolisian Indonesia melalui Bhayangkara FC beberapa kali tercatat melakukan tindakan yang berbuntut pada kasus yang memicu perdebatan atau kontroversi.
Pertama, polisi masuk memanfaatkan dualisme klub legendaris persebaya surabaya melalui penggunaan hak tampil sehingga dijuluki klub siluman. Kedua, tim yang berjuluk resmi the guardian ini selalu memiliki penonton lapangan pada tiap laga bahkan saat laga yang jelas mengharuskan larangan penonton lapangan sebab polisi selalu dapat masuk stadion sebagai petugas keamanan.
Ketiga, pihak komdis atau komite disiplin serta penyelenggara acara terkesan selalu mengabulkan klaim Bhayangkara FC sehingga dapat bonus poin. Keempat, komposisi klub ini tergolong komplit dari mulai pemain asing, pemain sipil senior sampai pemain polisi merupakan kombinasi mematikan olahraga sepakbola. Jelasnya tagline polisi humanis sudah melebur sampai jauh ke dalam stadion sepakbola sehingga tak jelas mana polisi dan sepakbola itu sendiri.
Bahasa orang-orang sipil di warung kopi dan jalanan suka berkelakar soal polisi dan Bhayangkara FC seperti juga di jalanan, di stadion pun pak polisi pemenangnya. Masalahnya kepolisian ini sudah jauh menyimpang dari khittah atau awal sebagai petugas kemanan seperti masanya Jenderal Hoegeng dulu.
Status polisi indonesia menurut konstitusi yang tidak bisa disebut militer seperti TNI dan tidak bisa disebut sipil seperti kita menyebabkan celah penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Faktanya walaupun tidak murni seratus persen militer seperti TNI namun tetap saja kekuatan polisi berada diatas rata-rata sipil indonesia apalagi stigma polisi yang masih galak dijalanan kecuali polwanya.