"Sejarah ditulis oleh Pemenang" Ah gak juga mengutip buku metodologi sejarah siapa saja bisa menjadi sejarawan asal sesuai aturan penulisan.
Ijinkan saya mengutip Satyagraha Hoerip, dalam sebuah esai kritik sastranya pada 1972, mencatat bahwa pengetahuan tentang pembunuhan massal itu disebarkan dari mulut ke mulut. Cerita-cerita terus beredar, tapi tidak pernah ditulis: 'Tapi yang aneh di sini ialah, bahwa dari yang pernah-seru kita dengar itu, tidak satu berita atau foto pun pernah kita saksikan, baik itu dari koran-koran, majalah-majalah maupun wartawan-wartawan yang umumnya cekatan itu, di dalam maupun di luar negeri.'
Dengan rangkaian kata yang jarang ditemui dalam tulisan di Indonesia, ia menggambarkan beberapa cerita yang disiarkan dari mulut ke mulut itu: 'Lalu seperti yang kita dengar, pembunuhan massal kemudian terjadilah di banyak tempat di Indonesia ini, selama beberapa pekan. Ada yang langsung dipancung, dihanyutkan ke kali baik utuh seluruh tubuhnya ataupun hanya bagian-bagian badannya saja, ada yang dengan mata disekap berbondong-bondong digiring ke laut atau jurang dan kemudian dari atas dihujani batu-batu; ada yang lebih dulu disuruh gali lubang dan kemudian dari jarak dekat ditembak masuk ke lubang itu sehingga tinggal menimbuninya saja; dan lain-lain dan banyak lagi.'
Hoerip merasa ia harus melawan mereka yang berpikir bahwa pembantaian itu mungkin tak pernah terjadi karena, terlepas dari jumlahnya yang banyak, cerita-cerita itu tidak pernah diperiksa ulang dan sering dilebih-lebihkan sampai orang tidak lagi mempercayainya: 'Bukankah kita tidak sangsi lagi bahwa pembunuhan massal seperti itu sebenarnya pernah terjadi di negeri ini?'
Apakah semua itu dilakukan penduduk biasa yang mengamuk? Apakah Angkatan Darat? Apakah kelompok-kelompok milisi sipil seperti Banser dan Tameng? Ataukah kerja sama antara keduanya? Berapa orang yang hilang? tewas? penjara? Benarkah orang-orang itu PKI? Mana yang fakta? mana yang fiksi?
Dalam bidang sastra coba kita lihat angkatan 66 yang mendukung orde baru dari sisi yang berbeda. Cek semua penerbit dan perhatikan semua redakturnya kemudian menjadi sokoguru bangunan kebudayaan Orde Baru: Mochtar Lubis, H.B. Jassin, Taufiq Ismail, Arief Budiman, dan Goenawan Mohamad. Mereka memproklamirkan diri sebagai penegak 'humanisme universal', bertentangan dengan ideologi-ideologi politik sempit yang menghalangi kebebasan artistik.
Sebagai humanis, tentu saja mereka mengungkapkan kegelisahan atas terjadinya pembunuhan itu. Hampirsemua cerita pendek yang diterbitkan di Horison terarah pada seorang pencerita yang mendukung pembunuhan, tapi pada saat bersamaan, tidak suka pada kekerasan. Para penulis 'humanis universal' tidak menampilkan pembunuhan itu sebagai sesuatu yang tragis bagi korban, tetapi sesuatu yang tragis bagi para pembunuh karena harus mendamaikan pembunuhan itu dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam bidang sosial coba kita lihat para Jenderal yang menjadi pahlawan revolusi dan yang menjadi pejabat. Cek silsilah keluarganya dan perhatikan hubungan kekeluargaan dan pertemananya. Ternyata ada benang merah yang menghubungkan mereka seperti Jenderal Suharto memiliki hubungan sepupu ipar atau saudara ipar dengan wakil Ketua PKI Njoto. Pahlawan revolusi yang meninggal seperti Siswondo Parman seorang Jenderal Intelijen TNI AD ternyata masih ada hubungan saudara dengan petinggi PKI Sakirman. Anehnya kebijakan bersih lingkungan yang menghambat keluarga apabila ada anggotanya telibat 1965 seakan mempunyai pengecualian.
Dalam bidang politik coba kita teliti benar yang dilarang itu semua golongan Kiri atau hanya golongan Kiri yang radikal. Teks ayat konstitusi secara gamblang hanya melarang PKI, Komunisme, Marxisme dan Leninisme. Kalau saudara jeli membaca buku-buku atau sumber-sumber atas kiri secara jelas dan rinci berarti varian kiri lain yang lebih bersahabat dan moderat seperti sosialisme demokratis atau sosdem masihboleh. Nyatanya kaum kiri moderat kemudian melakukan fusi atau penggabungan dengan PDI. Oh ya jangan lupa pahlawan kiri yang tidak radikal dan bisa menerima perbedaan seperti Alimin, Syahrir dan Tan Malaka belum dicabut statusnya oleh pemerintah.
Dalam bidang militer coba kita teliti benar apakah saat itu terjadi perang besar ataukah hanya perang kecil. Soe Hok Gie, ketika menulis tentang pembunuhan di Bali, menggambarkan peristiwa itu lebih sebagai pembantaian seperti yang terjadi di Uni Soviet semasa Stalin ketimbang peperangan. Putu Arya Tirtawirya, menggambarkan pembunuhan itu sebagai proses mencoret nama-nama dari daftar seorang pejabat. Perang yang saya maksud disini merupakan bentrokan pihak yang sama-sama bersenjata.
Satu-satunya perlawanan dan peperangan bersenjata atas nama PKI hanya terjadi pada Blitar Selatan dan beberapa daerah lain yang terkesan mandiri bukan dalam skala nasional. Ada alasan kuat bahwa pembunuhan yang diurus melalui administrasi ini terjadi di mana-mana, dan bukan hanya pengecualian. Sekalipun secara umum tidak banyak suara mengenai pembunuhan itu, ada beberapa kesaksian nonfiksi yang telah diterbitkan. Salah satunya ditulis oleh Pipit Rochiat, seorang Indonesia yang tinggal di Jerman, pada 1984. Tentu saja tulisannya tidak pernah diterbitkan ulang di Indonesia saat Suharto masih berkuasa.