Masih ingat lagu genjer-genjer dan tarian harum bunga gerwani? wanita seolah-olah digambarkan sangat erotis dan penuh fantasi seksual ekstrim sekaligus mengerikan dan kejam. Bayangan wanita binal dan jalang gerwani penuh hasrat seksual BDSM terutama Mastery kepada laki-laki pahlawan masih hangat sampai saat ini. Setidaknya begitulah gambaran wanita yang terpinggirkan menurut akademisi sekaligus pakar sejarah wanita Saskia Wieringa. Beliau berkata bukan sembarangan karena dia meneliti sejarah gerakan wanita Indonesia termasuk Tragedi 1965.
Sepanjang pengetahuan saya, buku sejarah wanita pertama yang ditulis wanita bercerita mengenai tragedi 1965 dan wanita, yaitu karya Saskia Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, mengenai sejarah pergerakan wanita Indonesia, antara pendudukan Belanda sampai masa Presiden Suharto. Saat mahasiswi sebagai wanita, Saskia bertemu dengan sejumlah perempuan yang pernah aktif organisasi wanita. Begitu mendengar cerita dan dokumen mereka, ia tahu bahwa para perempuan itu awalnya berjuang sendiri lalu menumpang sebagai sayap organisasi yang sudah mapan seperti Aisyiah,
Muslimat sampai Gerwani. Khusus untuk gerwani mereka tertarik karena janji-janji akan menaikan harkat dan martabat wanita tanpa pandang identitas SARA dan karena kesamaan gerakan kemudian bergabung dengan PKI. Ketika PKI kalah mereka tidak tahu akan dibawa ke penjara dan dipaksa menerima siksaan secara fisik bahkan seksual. Ketika masa tahanan usai, mereka terlalu malu untuk kembali kepada keluarga mereka. Mereka memilih menetap dalam diam dengan pembullyan keluarga dan masyrakat. Saskia kemudian mewawancarai perempuan-perempuan ini dan menulis kisah hidup mereka paska tragedi 1965.
Dengan mewawancarai mantan gerwani di indonesia ini, Saskia menemukan pengalaman manusia yang tidak pernah tertuang dalam dokumen tertulis. Ia menyadari pentingnya menggunakan kesaksian lisan karena perwira militer, dengan berbagai alasan, tidak pernah membuat dokumen mengenai penculikan dan perbudakan kaum perempuan itu dalam tahanan. Saskia menyesal karena tidak memiliki akses pada dokumen dalam kamp tahanan di mana semua bahan tertulis kecuali buku-buku agama dinyatakan terlarang, ia masih beruntung mendapat hak istimewa untuk mewancarai mantan gerwani karena masyarakat awam menjaga jarak dengan mereka sehinggammantan gerwani lebih terbuka pada saskia.
Tapi, ia pun sudah menduga dengan tepat bahwa kejahatan pemerintah ini tidak akan meninggalkan jejak-jejak tertulis yang cukup. Penguasa tidak pernah membuat pengumuman bahwa mereka memperbudak perempuan. Namun, di kalangan orang Indonesia sendiri, semua itu pelan-pelan menjadi 'rahasia umum'. Ia memahami bahwa wawancara lisan sangat diperlukan ketika meneliti kejahatan yang dilakukan oleh lembaga yang juga menguasai arsip tempat menyimpan dokumen tertulis.
Saskia benar: dokumen mengenai gerwani ini sangat sedikit. Sudah menjadi rahasia umum jangankan dokumen-dokumen bahkan jejak organisasi PKI dan gerwani sudah banyak hilang, banyak kantor mereka dulu yang sudah diambil pemerintah dan dijarah massa kemudian beralih fungsi. Dokumen-dokumen itu hanya bercerita tentang penangkapanwanita terduga gerwani, tapi tidak menggambarkan cara-cara brutal yang digunakan untuk mendatangkan perempuan dan mengurung mereka di sana. Jika kita hanya bersandar pada dokumen-dokumen resmi, bisa saja kita berkesimpulan bahwa tidak pernah ada kejahatan yang terjadi di sana: semuanya tampak seperti prosedur administratif dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan.
Dalam benak para pemenang, seperti dinyatakan dalam salah satu edaran Kejaksaan Agung, dibuat untuk membasmi ajaran Marxisme, Leninisme dan Komunisme agar tidak meracuni pemikiran generasi muda. Kunjungan mantan tahanan ke kodim untuk santiaji dan ceramah hanya untuk memberikan pertobatan dan mengontrol perilaku terutamma pada mantantahanan wanita. Saskia yakin Pemerintah Indonesia masih menyimpan banyak dokumen rahasia terkait wanita terutama gerwani.
Masalah Saskia bukanlah bahwa dokumen resmi tragedi 1965 itu isinya bohong belaka, tapi karena ada banyak lubang di dalamnya. Kita tidak dapat memahami pengalaman para wanita atau gerwani melalui dokumen-dokumen tersebut. Untuk memahami pengalaman mereka, kita harus mendengarkan cerita mereka yang selamat. Terlepas dari penolakannya sendiri untuk menghakimi gerwani sebagai benar atau salah, buku Saskia itu adalah uraian yang unik, yang tentunya bisa dianggap sebagai pembanding karya mainstream atau arus utama yang menyalahkan gerwani. Indonesia berhutang pada Saskia karena sudah berusaha merekam cerita-cerita kaum perempuan keluarga tapol dan gerwani yang terpenjara.
Mengingat para tahanan saat itu tengah bertahan hidup sebagai wanita mantan PKI, niat dan ketekunan Saskia untuk melakukan suatu penelitian sangat menakjubkan. Tragis memang bahwa salah satu buku sejarah wanita terbaik di negeri ini, dan mungkin hanya satu-satunya buku mengenai wanita dalam sudut pandang beda, ditulis oleh seorang Wanita yang bukan wanita Indonesia yaitu oleh Saskia Wieringa WNA Belanda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H