"Jawa adalah kunci!"
Itulah slogan film PKI yang sekaligus menggambarkan fakta tragis PKI yang lahir dan Mati di Jawa. Apabila PKI fokus pada daerah luar Jawa, tentu sejarah Indonesia akan lain ceritanya. Begitulah komentar akademisi John Roosa terhadap petualangan PKI dalam sejarah Indonesia.
Ketika PKI dibubarkan pada tahun 1966 sebagai buntut tragedi 1965 pengganti Aidit yang ditembak mati tidak patah arang. Pimpinan PKI yang tersisa seperti Sudisman dan Rewang memutuskan untuk mengubah strateginya. Selama 1966, Sudisman membuat strategi baru yang didasarkan pada prinsip perjuangan bersenjata. Taktik militer gerilya yang disusun sisa-sisa PKI yang selamat memutuskan melakukan hijrah ke desa-desa dengan pusat komando Blitar Selatan untuk menjalankan strategi ala Mao dari Partai Komunis Cina yaitu strategi desa mengepung kota. Sejarah militer mencatat inilah pertama kalinya perang antigerilya dijalankan TNI dan operasi militer pertama Presiden Suharto untuk menumpas Komunis Gaya Baru bernama Tri Sula dengan Pagar Betis.
Menurut versi pemerintah dan militer Indonesia, partai terlarang PKI baru mulai membentuk basis komunis gaya baru atau kompro (Komite Proyek Basis) di Blitar Selatan pada Oktober 1967. Gerakan itu adalah upaya terakhir untuk membangun perlawanan saat hampir semua anggota PKI mendekam di penjara atau tergeletak tewas dalam kuburan-kuburan massal. Mereka yang selamat dari represi di Jawa kemudian berkumpul di Blitar Selatan pada 1966-67, karena daerah itu sangat terpencil dan sulit ditembus oleh militer. Ada beberapa penduduk setempat yang membantu menyediakan makanan dan tempat berteduh.
Blitar Selatan adalah sebuah kecamatan di wilayah Kabupaten Blitar, yang lama dikenal sebagai daerah miskin di Jawa Timur. Sebelum 1965, Blitar Selatan adalah daerah yang terbelakang dan tidak banyak diperhatikan. Di zaman Belanda pun perkebunan besar tidak menjangkau wilayah ini, dan sepertinya sengaja dibiarkan terbengkalai. Beberapa pejabat bahkan menyebutnya sarang perampok yang sulit dan memang tidak perlu dijangkau. Banyak terjadi misteri pada daerah ini dari mulai pelarian, pemberontakan sampai kisah-kisah mistis.
Setelah pasukan Belanda pergi dan Indonesia mendapatkan kemerdekaan penuh, tetap tidak ada kekuatan politik lain yang tekun bekerja di Blitar Selatan, kecuali organisasi gerakan kiri. Salah satu organisasi yang terpenting adalah BTI yang mayoritas anggotanya adalah kaum tani miskin. Di Blitar Selatan, organisasi itu disambut karena bertujuan meningkatkan kesejahteraan kaum tani. Bagi orang kebanyakan, PKI mempunyai daya tarik karena memang tidak ada partai lain yang berhubungan erat dengan ormas-ormas, seperti Gerwani, BTI, Lekra, dan Pemuda Rakyat, yang bekerja sampai ke pelosok-pelosok desa.
Berita tentang tragedi 1965 menyebar dengan cepat, tapi tidak ke Blitar Selatan. Daerah itu dalam kesehariannya sangat terlambat menerima berita dari kota lain, apalagi dari Jakarta yang letaknya sangat jauh. Otomatis pelarian PKI semakin aman berkumpul di daerah ini dan melakukan perlawanan terakhirnya dengan segenap kekuatan seperti layaknya organisasi militan yang siap mati. Saat memutuskan akan menggelar operasi anti-PKI di Blitar Selatan, Angkatan Darat membawa serta sejumlah milisi sipil dari luar Blitar karena tak ada rakyat yang mau membantu.
Awalnya, operasi itu terarah khusus pada anggota PKI dan orang yang diduga berafiliasi dengan partai tersebut. Tapi lama-lama banyak orang yang tidak punya kaitan apa pun dengan kegiatan politik menjadi sasaran. Banyak kasus pertengkaran yang kemudian berlanjut menjadi pembantaian ketika salah satu pihak mendapat legitimasi dengan mencap lawannya sebagai komunis gaya baru. Para pemimpin operasi pembersihan ini kadang menetapkan target jumlah orang yang harus mereka habisi sebagai bukti keberhasilan. Orang Tionghoa juga menjadi sasaran karena selama ini dianggap menyokong PKI dan berhubungan dengan Republik Rakyat Tiongkok.
Komunis gaya baru atau sisa PKI yang bergabung di Blitar Selatan umumnya adalah aktivis mahasiswa, buruh, petani, pemuda, dan perempuan yang lolos dari pembantaian 1965 dan masih terus dicari penguasa. Mereka yang berhasil menghindari penangkapan atau hanya ditahan sebentar mulai lelah main kucing-kucingan dengan militer. Di kota-kota mereka harus senantiasa waspada agar tidak dikenali oleh informan militer, termasuk oleh anggota partai yang berkhianat karena disiksa dan diancam militer. Ada juga serdadu militer yang khawatir akan ditangkap, meninggalkan pasukannya, dan lari ke Blitar Selatan. Penduduk dengan mudah menerima para pelarian dan berinteraksi karena memang mengenal sebagian sebagai mantan anggota Laskar Rakyat atau aktivis yang berkunjung ke tempat mereka. Namanya juga orang Jawa kalau sudah dekat mengingat jasa PKI pada daerah mereka sudah seperti saudara kandung sendiri.
Taktik perlawanan PKI dengan sistem organisasi yang tertutup ini dipilih untuk melindungi jaringan komite proyek jika ada salah satu anggota yang tertangkap. Orang-orang PKI tak kenal siapa komandan dan bawahan seperti teroris masa kini pakai sistem sel. Sebaliknya,pihak militer dalam terbitannya mengenai Operasi Trisula selalu menggambarkan bagan organisasi dengan jelas seolah memang ada susunan yang pasti dan berjalan efektif.
Keberhasilan PKI bersatu pada dengan rakyat Blitar sampai menyulitkan militer,keadaan tersebut dapat menimbulkan frustrasi di kalangan pasukan, sehingga dalam salah satu briefing (pemberian petunjuk singkat), Pangdam VIII/Brawijaya mengatakan bahwa rakyat di daerah operasi satuan tugas harus dianggap sebagai lawan. Dan ditegaskan lagi dalam catatan tambahan rencana operasi, "Yang sebenarnya kita hadapi adalah daya tempur lawan termasuk rakyat seluruh Blitar Selatan yang mutlak membantu gerombolan bersenjata G-30-S/PKI dan bukan detasemen gerilya PKI saja."