Lihat ke Halaman Asli

Reza Muhammad Nashir

Perjuangan Rakyat

Resensi Buku "Sekolah Dibubarkan Saja"

Diperbarui: 14 Februari 2019   21:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Buku ini merupakan hasil interaksi penulis dengan beberapa temannya dan hasil penelitian di beberapa tempat di ranah minang yang sudah tersimpan lama. Tanah yang sangat dicintai sang penulis ini tetapi banyak mengendap permasalahan dan harapan yang terus mengawang membuat penulis mencurahkannya ke dalam buku "Sekolah Dibubarkan Saja". Buku ini ditulis oleh pengarangnya terkait pengalaman belajar dengan para remaja usia sekolah, ketika penulis menjadi seorang aktivis kesehatan dan reproduksi di daerah Sumatra Barat.

Segala permasalahan yang menimpa para peljar mengenai konsep belajar mengajar disekolah. Adanya kekecewaan para pelajar atas sikap dari sekolah tak bias memberikan hasil yang terbaik, sesuai dengan yang dicita-citakan. Mereka berpendapat bahwa jadi seoarang siswa itu harus mau berusaha. Paradigm pendidikan sekolah yang hanya menempatkan siswa sebagai objek yang harus menurut peraturan sekolah, rajin mengerjakan tugas, disiplin hadir disekolah dan suasana belajar menjadi tidak nyaman dan membosankan. Bagaimana pun caranya yang penting sekolahnya mendapatkan tingkatan prestasi atau bias dibilang sekolah yang berprestasi cemerlang, selain itu guru-guru bias dianggap sebagai pahlawan pendidikan, meskipun apa yang diajarkan disekolah tidak ssuai dengan yang dipikirkan kebanyakan orang. Kekecewaan yang dialami oleh para pelajar, membuat mereka menginginkan sekolah dibubarkan saja.

Ada berbagai gejolak pertentangan ketika menulis buku ini, yaitu sudah banyak karya yang tentang permasalahan sekolah tetapi apakah itu semua sudah membangun kesadaran atau belum. Sebagai permasalahan social di pendidikan, apakah ini akan terus didiamkan atau seakan-akan tidak pernah terjadi? Maka inilah dorongan untuk "Sekolah Dibubarkan Saja!" terus maju. Pesan dari penulis "Sepahit apapun kejujuran, jauh lebih baik dari kebohongan".

Buku ini ditulis dalam bentuk novel, yang membuat orang bertanya kenapa tidak dalam bentuk paparan hasil penelitian supaya dapat menjadi referensi yang valid? Penulis belajar dari banyak pengalaman, bahwa rasionalitas tidak cukup kuat untuk membuat perubahan. Maka rasa simpati, emosi, hati nurani mungkin lebih ampuh. Semua keresahan penulis disampaikan lewat cerita yang melibatkan emosi dan pandangan subjektif dari penulis. Akhirnya permasalahan dalam dunia pendidikan tidak selalu dapat diselesaikan dengan logika, tetapi juga harus menggunakan hati nurani.

'....jika pada akhirnya nanti saya tetap akan jadi petani juga, meski sudah bersekolah tinggi-tinggi dan jauh-jauh ke kota, mengapa saya tidak mulai dari sekarang saja? Begitulah yang ditulis Roem Topatimasang dalam bukunya Sekolah itu Candu. Berangkat dari pernyataan tersebut seharusnya sekolah memberikan kebutuhan dari muridnya, bukan memberikan apa yang dikehendaki sekolah. Cerita buku ini berawal ketika penulis melakukan pekerjaan PKBI Sumbar di Jorong Sikabu Kabupaten Tanah Datar untuk trauma healing akibat gempa yang mengguncang di Sumatra Barat tahun 2007. Angka putus sekolah yang tinggi didaerah terebut menjadi sorotan perhatian atas sebab apa yang membuat permasalahan yang terjadi.

Ada kekecewaan mendalam yang dirasakan pelajar di daerah tersebut akan konsep belajar di sekolah. Anak-anak merasakan sedikit sekali manfaat yang dapat diambil dari kegiatan belajar di sekolah. Pandangan mereka cenderung realistis terhadap kehidupan masa depannya. Rio yang diceritakan oleh penulis di buku ini salah satu anak SD di Jorong Sikabu yang putus sekolah karena menganggap bahwa sekolah itu membosankan. Sehingga Rio lebih memilih untuk beternak sapi yang dibelikan orang tuanya. Masyarakat Jorong Sikabu melihat bahwa sekolah tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan selanjutnya yang cenderung untuk memenuhi ekonomi. Wajar bila orang tua membiarkan jika anaknya putus sekolah karena mereka sendiri tidak mendapatkan pendidikan yang tinggi.

Kemudian di buku ini penulis juga mengkritisi terkait jalannya Ujian Nasional (UN) yang diselenggarakan pemerintah sebagai syarat lulus seorang siswa dari tingkatan sekolah. UN hanya sebatas seremonial belaka, dimana banyak berita pro-kontra yang terjadi sebelum dilaksanakannya UN. Tetapi pasca terlaksananya UN, seakan berita tersebut hanya sebatas pemanis yang hilang dengan berita-berita suksesnya UN tersebut. Tulisan-tulisan baik yang pro maupun kontra terkait UN hanya sebatas siklus yang terus terjadi di tahun selanjutnya, kemudian dilanjutkan dengan tulisan susksesnya terselenggaranya UN dan prestasi-prestasi sekolah yang mampu mengantarkan siswanya lulus rata-rata terbaik. Ajang ini hanya mengantarkan pada kepuasan prestasi sekolah, tapi tidak melihat bagaimana proses yang harus dilalui siswanya. "Pokoknya harus lulus membanggakan sekolah, caranya terserah kalian!!!", begitu kiranya bahasa yang mudah.

System pendidikan telah menghancurkan mimpi dan cita-cita anak di negeri ini. Sekolah yang harusnya menjembatani untuk meraih mimpi, telah berubah untuk mengahncurkan. Pandangan terhadap sekolah akhirnya juga berubah. Kecurangan-kecurangan yang dilakukan saat pesta sekolah dianggap lumrah. Meskipun terdapat segelintir orang bersuara, tetapi tidak terdengar satupun. Bertanya adalah tabu, membangkang adalah dosa, kreatif adalah memalukan. Diam adalah emas, penurut adalah membanggakan. Itulah sekolah!

Ibarat pabrik, sekolah memiliki pemilik yaitu pemerintah yang mengatur dan sebagai hak tunggal kepemilikan. Pabrik ini juga memiliki peralatan berupa kurikulum yang tiap kepemimpinan dengan dalih menyesuaikan atas permintaan pasar. Tetapi pengelolanya yaitu guru tidak di upgrade yang  membuat perubahan-perubahan kurikulum tidak sesuai dengan tujuannya. Sehingga murid di pabrik ini sebagai bahan produksi hanya sebagai bahan tidak jadi. Ketika SD murid diolah sampai enam (6) tingkatan untuk menjadi bahan setengah jadi. Kemudian di SMP bahan ini diolah kembali dengan harapan bias menjadi bahan jadi, tetapi kenyataannya hanya sebagai bahan seakan jadi yang membuat harus melanjutkan pengolahan di tingkatan selanjutnya yang bernama SMA.

Setelah Sembilan tahun lamanya baru di pabrik ini pertama kalinya bertanya untuk menentukan arah dan tujuan dari perjalanannya yaitu dengan adanya penjurusan. Tetapi sekali lagi ini hanya sekedar basa basi belaka, karena keputusan sudah ada ditangan guru. "Bagai punduk merindukan bulan" begitulah keadaan yang tepat dirasakan murid ketika penjurusan, dimana keinginan tidak sesuai dengan otoritas guru. Murid yang berkeinginan masuk jurusan IPA karena tidak mencukupi nilai IPA harus terima masuk IPS, begitupun sebaliknya. Negosiasi yang tidak seimbang dimana murid memiliki daya tawar yang rendah.

Sekolah dibangun dengan system siapa yang sesuai dengan kemampuan, bukan untuk memenuhi keinginan murid. Jalan hidup yang diharapkan sekolah mampu mengantarkan keinginan, justru membunuh secara perlahan keinginan tersebut. Kebebasan memilih dengan sadar terkungkung akan pemaksaan kehendak oleh persepsi orang lain. Manusia yang diciptakan dengan perbedaan, harus diganti dengan baju keseragaman. Jika perbedaan sudah tidak ada lagi, pupus sudah perbedaan manusia dengan binatang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline