Lihat ke Halaman Asli

Sebuah Kisah Akibat Jeratan Kemiskinan Hidup di Philipina

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hujan gerimis dan angin yang bertiup kencang sore itu menambah dinginnya cuaca di awal musim dingin bulan Desember. Kedai kopi Peet's Coffee yang ada di pojok persimpangan Mendocino Avenue  dan Chanate Road sore itu ramai oleh pengunjung yang mengantri. Aroma kopi yang enak sudah mulai tercium ketika kami membuka pintu memasuki kedai yang menjual beraneka macam jenis kopi dari hampir seluruh negara penghasil kopi, bahkan kujumpai pula berbagai macam jenis kopi dari Indonesia seperti Batak Coffee, Garuda Coffee ataupun Sulawesi Coffee.

Aku bukan penggemar kopi namun aroma yang tercium dari kopi-kopi tersebut membuat aku tak akan bisa menolak untuk menikmati secangkir cappuccino hangat di cuaca yang menggigit tulang begini. Sore itu kami berjumpa salah seorang  marketing yang dulu pernah bekerja dalam satu naungan perusahaan di salah satu perusahaan perangkat teknologi di kota kami. Dia berasal dari salah satu negeri penjajah Indonesia dulu kala. Ya, si kompeni Belanda yang telah lama meninggalkan negerinya untuk melanjutkan hidupnya dan menghabiskan masa tuanya di negeri Paman Sam ini. Dia sudah memasuki usia dimana dia bisa mendapatkan fasilitas dari sosial security yang artinya secara idealnya, dia sudah seharusnya menikmati usia pensiunnya dengan tanpa kekhawatiran secara financial.

Namun, itu gambaran bagaiman idealnya hidup nyaman, sedangkan teman kami tersebut masih direpotkan dengan urusan pengadilan yang mewajibkan pembayaran tunjangan kepada anaknya dan mantan istrinya yang sebelumnya, selain itu juga direpotkan dengan mortgage yang membuat banyak orang terjebak dalam masalah yang satu ini. Belum lagi masalah laid off yang menimpanya dan akhir-akhir ini banyak terjadi disini. Sebuah permasalahan yang tidak sederhana.

Dibalik itu semua, dia adalah seorang yang ramah dan mudah menebarkan senyum kepada siapa saja, jadi tak heran bila dia memiliki kawan yang banyak pula. Sore itu dia membawa serta istri barunya yang berusia 42 tahun lebih muda darinya.  Seorang perempuan sangat muda yang berasal dari Philipina dengan dandanan yang terkesan "tacky". Kamipun berbincang beberapa saat lamanya perihal rencana kepindahan mereka tahun depan dalam menyiasati kondisi financial mereka akhir-akhir ini. Dia bukanlah  seorang yang  kaya dalam hal materi,  tetapi dia mempunyai penghidupan yang jauh lebih baik disini dibandingkan dengan kehidupan istrinya di Philipina sebelum istrinya menikah dengannya.

Ternyata ingatanku saat ini kembali kepada kejadian sore itu ketika membaca sebuah artikel yang diposting salah seorang kawan di facebook tentang "Crow Bar" yang termuat dalam abc News. Artikel yang memuat bagaimana seorang  bule yang membangun sebuah bar di Philipina yang mengekploitasi  banyak pekerja berusia sangat muda untuk kesenangan " older foreign men".

Seperti sore itu, sang istri kawan kami tersebut mengeluhkan tentang beberapa kejadian yang dia alami semenjak suaminya tersebut membawanya ke negeri ini. Salah satunya adalah ketika, mereka berjalan-jalan di sore hari di wilayah Wiki up, tiba-tiba sang suami jatuh dan hampir tak sadarkan diri, sehingga berteriaklah sang istri meminta bantuan orang-orang yang ada disekitar wilayah tersebut, hingga akhirnya seorang dokter wanita yang berusia sekitar 60 tahunan menolongnya. Beberapa hari kemudian, ketika sang suami sudah dalam keadaan baik kembali, mereka mendatangi rumah si dokter tersebut untuk berkunjung dan mengucapkan terima kasih. Terjadilah perbincangan diantara mereka sehingga menceritakan kondisi financial mereka pada saat itu. Si dokter merasa kasihan, hingga ia menawarkan si istri bekerja sebagai house keeper di rumahnya. Ketika si istri telah bekerja pada di rumah dokter tersebut beberapa hari, rupanya si dokter menyebut suami si wanita Philipina tersebut dengan sebutan "kakek".  Bahkan suatu hari si istri tersebut sedang beristirahat ketika bekerja, si dokter tersebut mengatakan tak sepantasnya si wanita Philipina itu menikah dengan orang yang lebih pantas sebagai kakeknya.

Hal tersebut membuat dia memutuskan berhenti bekerja di rumah dokter tersebut. Namun tak hanya itu saja ketika dia berjumpa dengan beberapa orang Philipina yang banyak terdapat di suatu kawasan yang terdapat sebuah supermarket seafood besar dekat kota kami, diapun mendapatkan tanggapan yang kurang menyenangkan dikarenakan dia berbelanja bersama suaminya yang jauh lebih tua darinya di tempat tersebut, sehingga beberapa orang disana melontarkan kata-kata yang tak pantas padanya. Beberapa orang kawannyapun disini sering menyakitkan hatinya dengan mengatakan hal-hal yang buruk padanya.

Mendengar sang istri menceritakan pengalamannya tersebut, membuat sang suami hanya tersenyum getir. Tak kuasa menolak keadaan yang terjadi pada istrinya tersebut.

Itulah salah satu konsekuensi atas pilihan hidup yang dia ambil. Kemiskinan yang menyebabkan dia mengambil langkah menikah dengan orang yang 42 tahun lebih tua darinya. Namun disisi yang lain, ketika dia sudah hidup di negara ini, semua yang dia dapat dari sepatu, baju, telepon, kamera, atau apapun tentang hidupnya selalu dia tunjukkan melalui facebook kepada kawan-kawannya yang ada di Philipina. Sehingga banyaklah kawan-kawan mereka juga yang tertarik mengikuti cara melepaskan kemiskinan dengan menikahi bule meskipun usianya jauh lebih tua. Yang akhirnya membuat mereka berpandangan bahwa materi adalah di atas segalanya. Diapun bercerita ketika dulu dia merasakan susahnya hidup di Philipina, dengan banyaknya saudara-saudaranya yang secara financial yang hingga kini bergantung pula pada dirinya.

Kembali ke artikel yang memuat tentang Crow bar tersebut membuat banyak orang Philipina di usia sangat muda harus menghidupi keluarganya dengan cara apapun. Sementara disisi yang lain, orang-orang yang dari negara yang memiliki pendapatan perkapita jauh lebih besar memanfaatkan kemiskinan di Philipina dengan cara-cara tersebut.  Sedangkan menikah dengan bule meskipun berbeda usia yang teramat jauh menjadikan salah satu pilihan yang juga membantu melepaskan mereka dari kemiskinan hidup meskipun ketika mereka hidup di negeri sang bulepun mereka mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan. Sebuah kenyataan yang terjadi karena jeratan kemiskinan yang memprihatinkan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline