[caption id="attachment_233463" align="alignnone" width="582" caption="picture by Titiani"][/caption] Sore ini, cuaca dingin bulan Januari membuat banyak orang malas keluar rumah, tapi tidak dengan saya. Lemak yang tertimbun di badan harus segera dikurangi. Dengan mengenakan baju tebal berlapis ditambah jaket serta sarung tangan, mulailah saya berjalan-jalan sejauh 3 mil di taman dekat tempat tinggal kami. Gemericik suara air di taman membangkitan rasa nyaman ditengah sepinya suasana. Hanya suara burung pelatuk mematuk kayu pohon Black Oak sesekali memecah keheningan, dan gesekan sisa-sisa daun-daun kering di tanah serta patahan-patahan ranting yang terinjak tupai yang kelaparan di musim yang amat dingin. Sambil berjalan-jalan membakar lemak dalam tubuh sembari sesekali saya berlari lari kecil dan bersenandung mencoba mengusir dingin angin yang berhembus. Ketika saya sedang berjalan sambil mengamati seekor burung pelatuk yang sedang bersusah payah di udara yang dingin. Si burung pelatuk mematuk kayu pohon untuk mengambil buah-buah ecorn yang disimpannya di musim panas lalu untuk di makannya, tiba-tiba saya jadi teringat seorang tetangga saya yang usianya sudah tua, keadaannya bisu, tuli dan sekarang buta pula. Saya disini bisa menikmati indahnya taman, suara alam, sambil berdendang, meski dingin serasa menggigit tulang. Sedangkan tetangga saya itu, bicarapun tak bisa, mendengarpun apalagi, ditambah lagi karena usianya yang semakin tua membuatnya kehilangan penglihatannya pula. Beruntunglah tetangga di sekitarnya bergantian merawatnya. Saya teringat dulu ketika saya masih kecil, orang-orang memanggilnya dengan sebutan Opek. Barangkali karena dia hanya bisa berucap Pek..Pek, tanpa pernah ada kata-kata lain yang keluar dari mulutnya. Sehingga Opek menjadi sebuah nama untuknya. Salah seorang tetangga kami, seorang pensiunan tentara. Dia membawa Opek dari suatu tempat yang kami semua tidak pernah tahu dengan jelas dari mana asal-usulnya. Yang kami tahu Opek dibesarkan dan dirawat oleh tetangga kami yang pensiunan tentara itu. Opek terkenal sangat rajin membantu siapa saja yang membutuhkan bantuan tenaga untuk suatu pekerjaan seperti membangun rumah, pagar ataupun hanya sekedar memperbaiki atau membersihkan lingkungan rumah. Seringkali orang-orang memberinya makanan, rokok, dan uang sebagai hasil kerja atas bantuannya tersebut. Pernah suatu kali Opek berjalan di dekat rel kereta api yang biasanya dilewati lokomotif yang mengangkut tebu menuju salah satu pabrik gula di kota kami. Lokomotif itu berjalan dengan membunyikan peluit untuk memberi tanda siapapun yang berdekatan dengan rel agar menjauh. Karena Opek tidak bisa mendengar peluit itu, maka teriakan masinis maupun orang-orang yang berusaha meneriakinya agar menjauh dari rel tak dihiraukannya. Hingga akhirnya ada salah satu tetangga kami yang berlari sekuat tenaga mendekati Opek, kemudian menariknya menjauh dari rel kereta api itu untuk menyelamatkan Opek. Ketika Opek ditariknya, Opek yang tidak menyadari maksud orang yang hendak menyelamatkannya mengira bahwa ia sedang digoda hingga sempat Opek tak mau beranjak menjauh dari rel, namun beruntunglah tetangga kami memiliki tenaga yang cukup kuat untuk menarik paksa Opek menjauh. Setelah lokomotif tersebut lewat, barulah Opek tersadar bahwa hampir saja ia tertabrak lokomotif. Dan ketika itulah kami semua melihat tawanya yang khas disambut ucapan syukur orang-orang yang melihat kejadian tersebut. Sejak tetangga kami yang pensiunan tentara yang merawat Opek tersebut meninggal dunia, istrinya yang sudah tuapun dengan telaten masih mau merawat Opek. Beberapa tahun lalu, istri pensiunan tentara itupun meninggal dunia, hingga akhirnya tetangga lain yang bersebelahan bergantian merawat Opek. Tahun kemarin, tetangga sebelahnyapun meninggal dunia, dan kini gantian tetangga yang lain yang merawatnya. Para tetangga bergotong-royong saling membantu memberikan makanan ataupun uang untuk Opek, serta ada yang bergantian mengecek keadaannya sesekali. Entah berapa usianya sekarang, kami semua tak ada yang tahu. Yang jelas Opek, sudah nampak sangat tua sekali, berjalan membungkuk dengan tongkatnya, dan rambut yang sudah memutih sempurna. Opek yang tua, bisu, tuli dan sekarang butapun sudah tak kuat lagi untuk bekerja membantu siapa saja yang membutuhkannya. Sekarang gantian tetangga di sekitarnya yang merawatnya. Bisa dibayangkan, Opek dulu yang kuat, namun bisu dan tuli, tak pernah bisa hidup normal layaknya kita yang diberi Allah tubuh yang sempurna. Namun beruntunglah Allah masih memberikan orang-orang baik disekelilingnya. Meski tak ada yang tahu dari mana asal usulnya atau siapakah orang tuanya. Opek selalu ringan tangan membantu siapapun, dan kini giliran dia memerlukan orang yang merawatnya, tetangga semua berbelas kasih padanya. Coba anda bayangkan, kalau diri anda menjadi Opek. Betapa berat hidup yang harus dijalaninya. Namun itulah hidup. Opek tetap menjalaninya dengan sederhana, dengan tenaganya dia membantu orang lain sebisanya. Kini ketika usia tua mulai menyapanya, dunia seakan semakin hening, dan gelap. Tapi barangkali di dalam keheningan dan kegelapan tersebut, tersimpan rasa syukur yang tiada terkira. Menjadi bisu agar tidak terkontaminasi dengan tajamnya lidah berkata dusta, kotor dan perkataan buruk lainnya. Menjadi tuli agar tidak mendengar segala kebohongan, dan segala hiruk-pikuk kenikmatan duniawi yang menyesatkan. Serta menjadi buta agar tidak melihat segala kemaksiatan dan tipuan syaitan yang melenakan. Allah selalu menjaganya dengan cara yang hanya Allah Yang Maha Tahu yang terbaik. Semoga semua tetangga tetap berbaik hati merawat Opek hingga akhir hayatnya nanti. Allah Maha Adil. Ditengah segala keterbatasan dan kesulitannya, Opek tetap berdekatan dengan orang-orang yang tahu berterima kasih. Kelak Allah akan menempatkannya di tempat yang terindah bersama dengan orang-orang yang berbuat baik kepadanya. Dalam penjagaan Allah dengan segala keindahan kasih sayangNya. Ehm..., si burung pelatuk sudah terbang ke pohon yang lain ternyata, dan saya baru tersadar dari sejenak lamunan saya. Kini giliran saya, melanjutkan olah raga sore ini, sambil berucap syukur yang tak terkira. Kiranya Allah memberikan saya kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya. Sesungguhnya hidup hakekatnya adalah untuk beribadah kepada Allah. Marilah kita bersyukur atas apapun yang kita terima. Berpikirlah bahwa masih banyak saudara-saudara kita yang tidak seberuntung kita. Sudah selayaknya kita harus banyak-banyak bersyukur kepada Allah pemilik segala sesuatunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H