Di era globalisasi saat ini, kebutuhan atas tanah semakin meningkat. Meningkatnya kebutuhan atas tanah tersebut sejalan dengan semakin berkembangnya industrialisasi dan teknologi yang mempengaruhi asek sosial dan budaya. Saat ini kebutuhan atas tanah tidak hanya dijadikan sebagai tempat tinggal semata. Tetapi tanah juga juga dijadikan sebagai keperluan usaha ataupun jaminan kredit pinjaman bank. Walaupun kebutuhan atas tanah terus meningkat, tetapi porsi dari tanah itu sendiri bersifat tetap atau tidak bertambah. Jika hal ini terus berlangsung maka akan timbul sebuah "scarcity" dalam konteks pemenuhan kebutuhan tanah di masa yang akan datang.
Indonesia sebagai sebuah negara yang memiliki kekayaaan alam yang cukup melimpah tentu menjadi sorotan dunia karena luas wilayah daratan mencapai 1.919.000 km2. Hal inilah yang menjadi daya tarik pelaku ekonomi untuk melirik indonesia sebagai tempat untuk berinvestasi atau membuka kegiatan usaha. Namun, tidak semua pelaku ekonomi tersebut merupakan warga negara Indonesia. Banyak pelaku ekonomi berstatus warga negara asing yang tertarik untuk berinvestasi di Indonesia. Penulis dalam hal ini lebih menekankan sebuah pengertian bahwa pelaku ekonomi asing yang dimaksud adalah investor asing. Pengertian orang asing yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 memberikan pesan bahwa orang asing yang berkedudukan di Indonesia harus memiliki pekerjaan,serta dapat memberikan manfaat bagi Indonesia (Ardani, 2017). Walaupun jika dinilai dari sisi positif, investasi yang dilakukan oleh pihak asing mampu mengangkat atau membantu perekenomian Indonesia.
Secara yuridis, Investasi kegiatan usaha yang dilakukan warga negara asing di Indonesia tidak dapat memperoleh status hak milik atas tanah. Tetapi, warga negara asing tersebut dapat memperoleh status atas tanah tersebut dengan memperoleh Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai dan Hak Sewa. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Karena berdasarkan perundang-undangan mengenai Hukum Agraria di Indonesia yakni UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut dengan UUPA), Indonesia menganut asas nasionalitas yang tertuang didalam (Pasal 21 Ayat (1) jo. Pasal 26 Ayat (2) UUPA). Pasal tersebut menyatakan bahwa Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang dengan ancaman demi hukum. Dari penjelasan pasal tersebut dapat diketahui bahwa tanah yang ada di wilayah negara Indonesia hanya diperuntukan untuk warga negara Indonesia. Selain itu, pasal 9 UUPA juga ikut memperjelas bahwa Indonesia menganut asas nasionalitas dalam konteks hukum agraria nya, pasal tersebut menjelaskan bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang diperbolehkan untuk mempunyai hak sepenuhnya atas bumi,air, dan ruang angkasa.
Walaupun Indonesia menganut asas nasionalitas di dalam peraturan perundang-undangan hukum agraria nya (UUPA), tetapi tetap saja banyak pihak yang berusaha mencari titik lemah dari asas nasionalitas itu sendiri. UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria dapat dikatakan sebagai sebuah upaya pemerintah dalam hal melindungi segala bentuk kepentingan yang berkaitan dengan konsepsi pertanahan dan agraria nasional. Suatu kebijakan dapat dikatakan efisien jika manfaat bersih (total manfaat-total biaya) lebih besar dari nol (Herlina & Nadiroh, 2018). Perjanjian nominee adalah salah satu cara untuk membongkar titik lemah dari asas nasionalitas yang terdapat di dalam UUPA. Perjanjian nominee adalah sebuah praktik yang dilakukan warga negara asing yang bermukim di Indonesia untuk menguasai tanah di Indonesia. Di dalam praktiknya, perjanjian nominee digunakan oleh warga negara asing dengan meminjam nama warga negara Indonesia untuk mendaftarkan tanah dengan status hak milik, dimana di dalam konteks ini warga negara Indonesia yang ditunjuk tersebut berperan sebagai Nominee. Dalam konteks yang lebih sederhana, perjanjian nominee dapat dikatakan sebagai perjanjian pernyataan/kuasa. Seorang WNI dalam hal ini menyatakan bahwa tanah tersebut bukan miliknya namun WNI tersebut memberikan kuasa kepada WNA untuk dapat menjual. Hal tersebutlah yang dapat mencederai asas nasionalitas dari UUPA itu sendiri.
Menyikapi permasalahan perjanjian tersebut, perjanjian nominee dapat dikategorikan sebagai penyeludupan hukum sekaligus mencederai asas nasionalitas UUPA yang notabene nya merupakan landasan yuridis peraturan hukum agraria di Indonesia. Bahkan jika ditelaah lebih jauh, pihak atau warga negara indonesia yang menjadikan dirinya sebagai peminjam nama merupakan sebuah tindakan pengkhianatan warga negara terhadap bangsa dan negara. Hal tersebut dikarenakan perjanjian nominee pada dasarnya bertujuan untuk menghindari ketentuan larangan warga negara asing memiliki hak atas tanas sebagimana yang diatur oleh pasal 21 ayat (1) UUPA. Pasal 21 ayat(1) menentukan bahwa hanya warganegara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik. Cara menghindari pasal tersebut adalah dengan melakukan nominee atau pinjam nama sehingga warga negara asing tersebut dapat memiliki hak atas tanah secara tidak langsung. Konsekuensi hukum yang ditimbulkan dari perjanjian nominee itu sendiri dapat dibagi menjadi dua akibat yakni:
1. Akibat hukum terhadap perjanjian Perjanjian nominee melanggar syarat sah perjanjian yang halal sesuai dengan pasal 26 ayat 2 UUPA. Sehingga akibat hukum perjanjian batal demi hukum.
2. Akibat hukum terhadap notaris yang membuat akta tanah hasil perjanjian nominee Notaris bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat perjanjian tersebut (Gandasari, 2016). Negara memiliki tanggung jawab yang besar dalam menyikapi permasalahan tersebut. Bentuk tanggung jawab yang dapat dilakukan sebuah negara dalam menyikapi permasalahan tersebut adalah dengan ikut campur atau intervensi setiap kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan konsepsi pengaturan tanah di Indonesia.
Pemerintah sebagai perwujudan dari sebuah negara harus lebih mengedepankan aspek kesejahteraan seluruh rakyat (general welfare) dalam urusan peyelenggaraan pemerintah. Negara juga memiliki wewenang untuk mengelola kekayaan alam Indonesia di bidang pertanahan dalam bentuk hak menguasai tanah yang di dalam pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah. Walaupun negara memiliki hak menguasai tanah namun di dalam pelaksanaannya hak menguasai tersebut tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perjanjian nominee dapat dikatakan sebagai sebuah pelanggaran dan pengkhianatan terhadap asas nasionalitas undang-undang pokok agaria (UUPA) karena memungkinkan pihak asing dapat memiliki hak milik atas tanah secara tidak langsung. Kedudukan asas nasionalitas di dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria menjadi sebuah hal yang penting, karena atas dasar asas nasionalitas itulah warga negara Indonesia dapat menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Selain itu, warga negara Indonesia sebagai manusia yang memiliki nilai moral yang tinggi sesuai sila ke-2 Pancasila "kemanusiaan yang adil dan beradab" seharusnya lebih bijak dalam melakukan perbuatan hukum khususnya dalam hal jual beli tanah yang melibatkan pihak asing (warga negara asing).
References
Ardani, M. N. (2017). KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH BAGI ORANG ASING DI INDONESIA. Jurnal Law Reform, 204-216.