Isu perubahan iklim (Climate change) menjadi isu perbincangan hangat global. Emisi karbon bertanggung jawab penuh terhadap perubahan iklim di dunia. Emisi karbon berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, industri energi, sistem transportasi, sektor industri, sektor rumah tangga dan jasa serta kegiatan-kegiatan manusia lainnya yang menghasilkan Karbon dioksida di atmosfer (CO2). Peniliti Pusris Iklim dan Atmosfer, Erma Yulihastin memaparkan dalam 30 tahun terakhir hingga Maret 2023 terjadi perubahan iklim 1,5C suhu permukaan bumi dan diperkirakan suhu permukaan bumi dapat meningkat 4C lebih tinggi pada akhir abad-21 (World Bank,2012). Perubahan iklim juga terjadi di Indonesia, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperdiksi akan terjadi kenaikan suhu permukaan bumi 3,5C di Indonesia pada akhir abad ke-21.
Emisi karbon menjadi penyebab utama pemanasan global, ternyata lebih dari setengah gas rumah kaca tersebut disumbangkan oleh sepuluh negara.
Tiongkok menjadi kontributor terbesar gas emisi karbon dengan menghasilkan 12.399,6 juta ton metrik ton karbon dioksida ekuivalen (MtCO2e) atau setara dengan 26,1 % dari total gas emisi global. Indonesia menempati urutan 8 peyumbang gas emisi terbesar dunia dengan kontribusi gas emisi 965,3 MtCO2e atau setara 2 % gas emisi dunia. Sektor peyumbang gas emisi tersebut paling besar berasal dari sektor energi (World Reserach Institute, 2018.). Kemudian, pada tahun 2015-2019, sektor energi merupakan peyumbang utama gas emisi karbon dan selalu meningkat setiap tahunnya.
Puncaknya pada 2019 sektor energi meyumbang 638.808 Gg CO2e atau setara dengan 34,22 % dari total gas rumah kaca di Indonesia. Kemudian disusul oleh sektor FOLU atau Kehutanan dan Penggunaan Lahan sebesar 468.425 Gg CO2e atau setara dengan 25,1 % dan Kebakaran Gambut sebesar 456.427 Gg CO2e atau setara dengan 24,45 % total emisi gas rumah kaca nasional (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,2020.)
Pemanasan global akibat kegiatan perusahaan atau badan yang menghasilkan karbon dioksida (emisi CO2) merupakan bentuk dari eksternalitas negatif bagi masyarakat umum yang harus dilakukan intervensi pemerintah dengan green tax economy atau pajak karbon. Pemerintah Indonesia berencana melakukan pajak karbon pada 1 April 2022 dengan penerapan atas sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara, tetapi rencana penerapan pajak karbon kembali di undur hingga tahun 2025.
Permasalahan tersebut menjadi dasar atas perlunya sebuah penerapan pajak karbon secara tepat dan terukur serta terobosan baru dalam upaya mencapai digitalisasi pembayaran dan net zero emission Indonesia pada 2060. Melalui penerapan pajak karbon yang tepat disertai dengan model penerapan Pentahelix dan adanya Inovasi Aplikasi Electronic Green Tax Economy atau e-Green diharapkan memberikan dampak positif terhadap penurunan gas emisi di Indonesia, terjadi tata kelola pemerintah yang baik (good governence), dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Penerapan e-Green menjadi hal mutlak untuk dilakukan demi menyempurnakan transformasi pajak digital di Indonesia untuk menuju full automation pada pekerjaan administrasi. Peneparan e-Green sebagai bagian dari pajak karbon harus dilakukan pada waktu keadaan ekonomi sedang stabil dan waktu penerapan yang tepat. Diharapkan dengan adanya aplikasi e-Green dan pelaksanaan pajak karbon di Indonesia dapat menurunkan gas emisi karbon sehingga tercapai net zero emission pada 2060 dan tranformasi pajak digital di Indonesia sebagai upaya peningkatan pelayanan kepada wajib pajak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H