Kelas menengah seringkali diidentifikasi sebagai tulang punggung ekonomi suatu negara. Di Indonesia sendiri kelompok ini biasanya memiliki rumah serta layanan kesehatan yang memadai, menikmati pendidikan tinggi untuk anak-anak mereka, dan memiliki penghasilan yang cukup.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kondisi kelas menengah saat ini sangat memprihatinkan.Dalam beberapa tahun terakhir, kenaikan biaya listrik serta harga kebutuhan pokok lainnya terus meningkat, sementara gaji atau pendapatan mereka tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Hal ini membuat kelas menengah semakin terbebani dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Bagi keluarga dengan perekonomian mapan, pendidikan dapat menjadi ajang untuk meningkatkan status dan reputasi keluarga.
Namun untuk keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah, pendidikan merupakan salah satu jalan paling memungkinkan untuk keluar dari kemiskinan.
Dengan pendidikan seseorang dapat memiliki cukup pengetahuan untuk beradaptasi pada sistem mapan yang sedang berkuasa agar menanggalkan status kemiskinannya.
Dalam konteks pendidikan mahasiswa di perguruan tinggi seringkali mendapatkan UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang tidak sesuai dengan kemampuan mereka bahkan lebih tinggi dari penghasilan orangtua mereka.
Hal ini tentu menjadi beban bagi orangtua kelompok mahasiswa yang berada di ekonomi tengah.Mahasiswa yang berada di kelas ini tidak termasuk dalam kategori penerima KIP (Kartu Indonesia Pintar) mereka harus berjuang keras untuk memperoleh pendidikan tinggi yang layak.
Orang tua mereka sering kali "sesak nafas" secara finansial dalam melunasi UKT, membuat mereka terjebak dalam dilema keuangan yang berat.
Sementara beasiswa yang ditawarkan pihak lain juga sering kali mempertanyakan kepemilikan kendaraan,rumah bahkan surat keterangan tidak mampu.
Fenomena kenaikan UTK jika dilihat dari kacamata Bourdieu merupakan sebuah bentuk implementasi kekuasaan dan dominasi paling halus yang terjadi pada abad kontemporer ini.