Lihat ke Halaman Asli

Tritagonis bagi Politikus

Diperbarui: 30 September 2016   07:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: swattonline.com

“Tanah air adalah sebuah buku yang terbuka, setiap generasi harus mengisinya dengan karya.”
 (Najwa Shihab)

Pada dasarnya setiap orang dapat menjadi komunikator politik, hanya bobotnya yang berbeda antara tokoh dan orang kebanyakan. Menurut Leonard Doob yang kemudian disitir oleh Nimmo (1993), komunikator politik dapat dikategorikan dalam tiga tipologi, yaitu politikus (pols), komunikator professional (pross), dan aktivis (voss).

Terkhusus untuk tipologi yang kedua, yang digolongkan sebagai komunikator professional adalah mereka yang disebut sebagai promotor dan jurnalis. Spesifik lebih lanjut, mari kita berbicara soal jurnalis.

Jurnalis adalah mereka yang bekerja di media massa atau organisasi berita. Para jurnalis mempunyai pengaruh besar terhadap konstelasi politik. Mereka mempunyai collection of facts. Sebagai penghubung antara sumber berita dan khalayak, jurnalis dapat memainkan peran yang penting dalam pembentukan opini publik, yakni melalui kemampuannya menentukan isu-isu yang perlu mendapatkan perhatian khalayak. Mereka juga mampu mengatur para politikus atau pejabat pemerintah untuk saling berbicara atau berpendapat melalui media massa (Subiakto, 2012: 25).

Dalam hal ini, proses penyampaian pesan politik tidak selalu dikaitkan dengan pandangan mainstream yang mana pesan-pesan atau pun informasi yang ada di ruang public mengenai perpolitikan itu sendiri disampaikan oleh pelaku politik bernama politikus. Namun, intens daripada itu, di sinilah peran penting para insan jurnalistik terlibat dalam keberlangsungan komunikasi politik, apalagi mengingat modernisasi dunia informasi sekarang ini yang begitu menitikberatkan pada media massa, dan juga stimulus masyarakat yang cenderung terlalu cepat menyimpulkan konten pemberitaan pada stigma pertama yang sampai pada mereka selaku komunikan politik. Itulah demikian, alasan mengapa penulis mencoba menginterpretasikan sepintas perihal ini.

Sejalan dengan fungsi lain jurnalis sebagai penengah berbagai konspirasi politik dan sejenisnya di tengah hingar-bingar lakon para politikus, jurnalis bisa dikatakan sebagai “tritagonis”-nya politikus yang bahkan sekaligus seorang pemimpin negara. Mengapa demikian? Mari mereaksi sebelum berkomentar terlalu banyak.

Ketika komunikasi politik berlangsung, justru yang berpengaruh bukan saja pesan politik itu. Dengan kata lain, ketokohan seorang komunikator politik dan lembaga politik yang mendukungnya, sangat menentukan behasil tidaknya komunikasi politik dalam mencapai sasaran dan tujuannya (Arifin, 2006: 53).

Tritagonis di sini mengartikan jurnalis sebagai tokoh ketiga yang menjadi penengah, berpengaruh, formulator bagi sesama politikus, tak terlepas dari sifat baik dan buruknya citra politik itu sendiri. Dipandang secara objektif, tritagonis tentu menjadi ikon penting dalam pemecah atau malah penimbul suatu masalah. Seperti itukah?

Sebelum itu, Arifin (2006: 95) dalam bukunya menyatakan bahwasanya seleksi dan penggunaan media politik, hanya dapat dilakukan terhadap media yang dapat dikendalikan atau dikontrol oleh para politikus.

Tak demikian ketika melirik kasus-kasus dan hegemoni suara politikus di kalangan media massa, banyak politikus akhirnya jatuh atau saling menjatuhkan diri mereka masing-masing karena pemberitaan brilian yang dimunculkan para jurnalis di media massa. Secara tidak langsung, hasil akhir seleksi media politik itu sendiri tetap berada dalam kayuhan control jurnalis dalam mengkemas suguhan pesan politik ke masyarakat selaku komunikan politik. Dan persepsi yang ditangkap masyarakat tidaklah tak terikat dalam opini public yang selalu ada di setiap kompleks problematika politik. Karena sejatinya terkait dengan opini public pun, juga tak akan lepas dari ragam distorsi yang akan dialami oleh masyarakat itu sendiri.

Lebih daripada itu, jika dilihat dari sudut segi media, dewasa ini adalah klimaks dari era mediasi (politics in the age of medition). Merujuk pada pernyataan Mc Nair yang dipertegas oleh Hamad (2004: 1), para actor politik senantiasa berusaha menarik perhatian jurnalis agar aktivitas politiknya diliput oleh media. Dikatakan pula bahwa bagi politikus, media massa dipakai untuk menyampaikan pesan-pesan politik mereka kepada khalayak. Sedangkan untuk jurnalis, media massa merupakan wadah untuk memproduksi pesan-pesan politik. Maka, di sinilah peran sentral tritagonis jurnalis. Sementara masyarakat dipengaruhi oleh media massa, dan media massa hitam putihnya ditentukan oleh para jurnalis, para jurnalis ini hanya akan melakukan aktivitas profesionalnya sepanjang menguntungkan atau sesuai dengan kepentingannya, walhasil kekuasaan itu ditentukan oleh para professional jurnalis (Subiakto, 2012: 26).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline