Penggusuran paksa menjadi isu yang terus menghantui masyarakat kecil di Indonesia. Di balik dalih pembangunan dan modernisasi, terselip praktik yang melanggar hak asasi manusia dan prinsip keadilan sosial. Fenomena ini menunjukkan bagaimana kebijakan pemerintah sering kali mengorbankan rakyat kecil demi kepentingan segelintir elit dan korporasi.
Menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2023, terdapat lebih dari 300 kasus konflik agraria yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Mayoritas konflik ini melibatkan penggusuran paksa yang dilakukan atas nama pembangunan infrastruktur dan proyek strategis nasional. Misalnya, di Jakarta, sebanyak 6.000 kepala keluarga terpaksa kehilangan tempat tinggal selama periode 2022--2023 akibat proyek revitalisasi sungai dan jalan tol. Sayangnya, proses penggusuran kerap dilakukan tanpa musyawarah yang adil, seperti yang diamanatkan oleh Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945, yang menjamin hak atas tempat tinggal layak. Tak hanya itu, UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 9 juga menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan memiliki penghidupan yang layak. Namun, realitas di lapangan jauh dari peraturan tersebut.
menghancurkan rumah fisik, tetapi juga kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Banyak keluarga yang terpaksa tinggal di tempat penampungan sementara tanpa akses ke pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Sebuah studi dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat bahwa sekitar 70% korban penggusuran mengalami penurunan kualitas hidup, termasuk kehilangan mata pencaharian. Lebih ironis lagi, proyek yang diklaim membawa manfaat ekonomi justru memperlebar kesenjangan. Tanah-tanah yang dulunya dihuni oleh masyarakat kecil kini beralih menjadi pusat perbelanjaan, apartemen mewah, atau area komersial yang hanya dinikmati oleh kalangan atas.
Proses penggusuran kerap diwarnai tindakan represif aparat, seperti kekerasan fisik dan penggunaan alat berat untuk menghancurkan rumah-rumah warga. Tindakan ini jelas melanggar Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009, yang mengatur penggunaan kekuatan secara proporsional dalam penanganan konflik. Alih-alih melindungi rakyat, aparat justru menjadi alat kekuasaan untuk menekan mereka. Pemerintah juga gagal menyediakan solusi alternatif yang manusiawi, seperti relokasi yang layak atau kompensasi memadai. Padahal, dalam UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan, disebutkan bahwa setiap pengadaan tanah wajib didasarkan pada prinsip keadilan dan kesejahteraan bagi semua pihak.
Pembangunan tidak boleh menjadi alasan untuk menyingkirkan rakyat kecil. Pemerintah harus memastikan setiap kebijakan pembangunan dilaksanakan dengan musyawarah yang transparan, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan sosial. Selain itu, relokasi harus dirancang secara partisipatif, sehingga masyarakat tidak kehilangan identitas sosial dan akses ekonomi. Penggusuran paksa adalah cerminan ketidakadilan sistemik. Jika dibiarkan, ini hanya akan memperdalam luka sosial dan merusak kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Sudah saatnya kita membangun Indonesia yang tidak hanya maju secara fisik, tetapi juga adil dan manusiawi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H