Dalam beberapa tahun terakhir, dinamika politik dan kebijakan ekonomi di Indonesia semakin menunjukkan kompleksitas yang memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat. Salah satu isu yang menjadi sorotan tajam adalah rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Kebijakan ini dianggap kontradiktif dengan narasi pemerintah yang berkomitmen menjaga daya beli masyarakat. Di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi, kebijakan ini dinilai akan menambah beban rakyat kecil, memperlebar ketimpangan ekonomi, dan melemahkan konsumsi domestik sebagai salah satu motor penggerak ekonomi. Alih-alih memperbaiki tata kelola pajak, pemerintah justru memilih langkah yang cenderung regresif.
Tak berhenti pada isu PPN, wacana tax amnesty jilid II juga menjadi topik kontroversial. Program ini menuai kritik karena dianggap tidak memberikan efek jera bagi para pengemplang pajak, melainkan justru memberikan ruang toleransi atas pelanggaran hukum.
Selain itu, kebijakan ini menimbulkan ketidakadilan bagi para wajib pajak yang selama ini taat aturan. Dalam konteks yang lebih luas, hal ini menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah dalam memperkuat sistem perpajakan yang adil dan transparan. Keberpihakan kepada elite ekonomi membuat jurang ketimpangan semakin dalam, bertolak belakang dengan visi pemerataan pembangunan. Isu politik juga semakin diperkeruh oleh perilaku aparat penegak hukum yang kian ugal-ugalan. Berbagai laporan terkait penyalahgunaan wewenang, seperti kasus kekerasan terhadap demonstran, korupsi di tubuh kepolisian, hingga keterlibatan oknum aparat dalam jaringan kejahatan, semakin menggerus kepercayaan publik.
Aparat yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat justru sering kali menjadi aktor penindas. Hal ini memunculkan pertanyaan mendasar tentang integritas institusi yang seharusnya menjadi tulang punggung penegakan hukum di negeri ini.
Dalam konteks politik praktis, elite penguasa tampak semakin terfokus pada konsolidasi kekuasaan menjelang Pemilu 2024. Isu-isu strategis terkait kebijakan publik cenderung dikesampingkan, sementara narasi populis dijadikan alat untuk mendulang simpati rakyat.
Namun, di balik layar, perselingkuhan antara kepentingan politik dan oligarki ekonomi semakin nyata. Penguasaan sumber daya dan kebijakan oleh segelintir kelompok telah menghambat tercapainya kesejahteraan yang merata.
Di tengah hiruk-pikuk ini, narasi tentang "Indonesia Emas 2045" kerap disuarakan oleh pemerintah sebagai bentuk optimisme. Namun, apakah visi ini realistis? Tanpa reformasi struktural yang mendalam dalam sektor hukum, ekonomi, dan birokrasi, cita-cita Indonesia Emas hanya akan menjadi mimpi kosong.
Indikator ekonomi memang menunjukkan pertumbuhan, tetapi kualitas pertumbuhan tersebut masih jauh dari inklusif. Ketimpangan sosial, rendahnya indeks pembangunan manusia, dan lemahnya sistem demokrasi menjadi ancaman nyata bagi masa depan bangsa.
Di sisi lain, masyarakat mulai menunjukkan kesadaran politik yang lebih kritis. Gerakan mahasiswa, kelompok masyarakat sipil, dan media independen memainkan peran penting sebagai pengawal demokrasi.
Tekanan dari masyarakat ini diharapkan mampu memaksa pemerintah untuk kembali pada prinsip-prinsip keberpihakan kepada rakyat. Namun, perjuangan ini tidaklah mudah. Rezim yang kuat secara politik dan ekonomi kerap menggunakan berbagai cara untuk meredam suara-suara kritis, mulai dari kriminalisasi hingga penggunaan kekerasan.