Negara dalam teori kontrak sosial
Bermula dari Thomas Hobbes yang menyatakan bahwa pada dasarnya setiap manusia adalah sama secara kodrati yakni cenderung mementingkan diri sendiri suka bertengkar haus kekuasaan, kejam dan jahat menurut Hobbes ada dua hal yang tidak bisa dipungkiri dari diri manusia, yakni: dan aversion. Ialah hasrat atau nafsu yang cenderung pada kekuasaan, pengetahuan kehormatan dan keinginan manusia yang tak terbatas lainnya sedangkan aversion merupakan suatu tabiat muatan dari manusia yang enggan mati ataupun hidup sengsara.
Sementara kata hobbes untuk memenuhi kedua tabiat bawaan, itu manusia menggunakan power atau kekuatannya. karena power merupakan satu-satunya kekuatan manusia untuk mengatasi kedua tabiat tersebut maka yang terjadi adalah benturan power atau konflik antara sesama manusia, bahwa kesimpulan dalam kondisi alamiah ( the state of nature) manusia menjadi tidak aman dan bayang-bayang akan kematian selalu datang menghantui, satu-satunya cara agar bisa mengatasi itu, manusia perlu menciptakan hukum artifisial tujuannya agar terhindar dari malapetaka homo homini lupus, layaknya serigala yang saling mengancam satu sama lain. adapun hukum buatan manusia itu sendiri diperoleh dengan cara masing-masing anggota masyarakat mengadakan kesepakatan untuk menyerahkan hak kemerdekaannya kepada suatu lembaga pemerintah atau leviathan sebagai pelindung atas hak individu guna menghindari peperangan antar sesama.
Memahami konsep negara, locke tentu saja tidak bisa memisahkan pandangan tentang kontrak sosial. Penerimaan terhadap gagasan kontrak sosial sudah jamak dikenal orang namun beberapa ada perbedaan dari apa yang (diintroducer) Hobbes baginya kontrak sosial bukanlah hasil penyerahan hak substantif oleh individu kepada suatu lembaga kekuasaan tertinggi , sehingga tiap-tiap individu harus kehilangan hak alamiahnya sama sekali. tepatnya menurut Locke karena tidak ada masyarakat politik yang bisa terbentuk atau bertahan tanpa mempunyai kekuasaan untuk mempertahankan milik dan untuk menghukum orang-orang yang mengganggu masyarakat tersebut maka yang dibutuhkan adalah masyarakat politik, di mana setiap orang menyerahkan kekuasaan alamiahnya kepada masyarakat tersebut.
Lantas, muncul pertanyaan, mengapa seorang individu bebas mau atau bersedia dengan rela berhimpun dalam masyarakat politik, dengan konsekuensi harus menanggalkan hak-hak dasar yang telah diberikan alam? Tentu ini merupakan hal sulit bagi seorang individu bebas untuk menerima konsekuensi tatkala mengakhiri keadaan alamiahnya andaikan, bukan karena suatu pertimbangan yang mantap dengan melihat sisi kemanfaatan bagi dirinya tentulah ia tidak bersedia menerima itu. Dalam kondisi alamiah manusia berada dalam keadaan bebas merdeka dan sederajat tetapi setiap manusia bertindak di bawah bimbingan akal dan ini secara otomatis membuat manusia mampu mengenali, bahkan dapat membedakan, mana hal yang pantas dilakukan kepada orang lain.
Manusia serta kecenderungannya untuk mencari sekutu dengan orang lain yang menyatakan bahwa individu masuk ke dalam masyarakat politik karena ketidakmampuan kondisi alamiahnya bukan keadaan alamiah itu sendiri.
Dalam konteks bela negara rousseau sebetulnya tidak menginginkan model pemerintahan representatif. Apabila hukum adalah manifestasi dari kehendak umum maka dalam perumusannya ialah mesti melibatkan subjek hukum (rakyat). Bukan diwakilkan. Semua anggota komunitas politik harus mempunyai kedudukan yang sama dalam membuat hukum , karena mereka mempunyai kepentingan bersama dalam kehidupan bersama titik kedaulatan, karenanya, tidak terletak pada monarki atau pemerintah, tetapi pada komunitas dalam kapasitas kolektif dan legislatifnya hukum, sebagai wujud representasi kehendak umum seyogyanya melibatkan rakyat secara individu Dalam pembuatan dan bukan dengan cara diwakilkan titik mempercayakan tanggung jawab kepada orang lain berarti menyerahkan kebebasan.
Bila disimak argumen diantara ketiga pemikir teori kontrak sosial ini mengandung asumsi yang berbeda-beda Hobbes misalnya, menyatakan kontrak sosial dibangun Karena pada dasarnya manusia suka peran dan dipatuhi ketakutan titik untuk menghindari peperangan dan kondisi tidak nyaman dalam hukum alamiahnya (natural law), manusia membutuhkan hukum artifisial, maka dibentuklah kontrak sosial. Tidak seperti Hobbes bagi, pada kondisi alamiah manusia tidak suka berperang antara sesama sebab manusia memiliki akal yang mana mampu membedakan yang baik dan buruk dalam pergaulan sosialnya. Namun, kondisi alamiah seringkali menimbulkan gangguan bagi masing-masing individu, mendorong mereka untuk mengadakan kontrak sosial. Sehingga berbeda dengan Hobbes yang cenderung membenarkan kekuasaan absolut negara, justru melihat negara bukan sebagai subjek yang memiliki kekuasaan mutlak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H